Nikah
Siri Menuruut Pandangan Ulama, Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Agama Islam
Pengampu
: Machfudz, Drs, M.A
Disusun Oleh:
1.
Nindyha Tri Hapsari
2.
Mahsusotun Nafisah
Kelas : TI.01
PORGRAM
STUDI TEKNIK INFORMATIKA ( TI )
FAKULTAS TEKNIK DAN
ILMU KOMPUTER ( FASTIKOM )
UNIVERSITAS SAINS
AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI
WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah
menciptakan sesuatu berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, jantan dan
betina, siang dan malam, dan sebagainya, manusia hidup berpasangan-pasangan,
menjadi suami istri membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu
haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kekal dan tidak mudah diputuskan,
yaitu ikatan akad nikah atau ijab Kabul perkawinan. Bila akad nikah
telah dilangsungkan maka mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah
tangga yang sakinah dan mawadah warohmah, yang natinya akan akan lahir
keturunan-keturunan dari mereka.
Dalam
hukum islam tujuan perkawianan adalah menjalankan perintah Allah SWT agar
meperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dan membentuk keluarga yang
bahagia. Artinya ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka lembaga
perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk menciptakan ketenangan. Dan kedamaian
bagi manusia yang telah mampu untuk melaksanakannya. Sebagai firman allah :
ﻴﺎﻤﻌﺳﺮﺍﻟﺷﺎﺐ
ﻤﻦ ﺍﺳﺘﻁﺎﻉ ﻤﻧﻛﻢ ﺍﻟﺑﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺯ ﻮﺝ
“hai sekalian pemuda . siap yang
sanggup bersetubu (Karena ada belanja nika), hendaklah berkawin”
ﻓﺎﻧﻛﺣﻮ
ﺍﻤﺎ ﻂﺎﺐ ﻠﻛﻢ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺴﺂﺀﻤﺛﻦ ﻮﺛﻠﺚ ﻮﺮﺑﺎﻉ ﺨﻔﺗﻡ ﺍﻻﺗﻌﺪ ﻠﻮ ﺍﻔﻮ ﺍﺣﺫﺓ
﴿ ﺍﻠﻧﺳﺎﺀ :٣﴾
“ Maka kawianlah perempuan yang kamu
sukai, satu, dua, tiga dan emapat, tetapi kalau kamu kautir tidak berlaku adil
(diantara prempuan-prempuan Itu), hendaklah satu saja”(QS.Anisa.ayat 3)
Dalam
firman Allah SWT dan sabda rosulnya mengajukan perkawinan, yang diatas sudah
jelas.
Namun
akhir-akhir ini banyak temuan kasus perkawinan sirih di berbagai kalangan,
misalnya media cetak, maupun media elektronik dalam acara infotaiment dalam
siaran TV swasta, banyak sekali tayangan-tanyangan maraknya tentang perkawinan
sirih mulai dari kalangan tokoh politik, selebritis maupun masyarakat biasa,
meski perkawinan tersebut sah menurut agama namun belum tentu secara hukum.
Berdarakan
uraian latarbelakang diatas, maka penulis merasa perlu untuk mengangkatnya
dalam suatu judul makalah Yaitu: “ Nikah Siri Menuruut Pandangan Ulama,
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan nikah siri?
2.
Bagaimana
tata cara pernikahan menurut islam?
3.
Apa
faktor yang melatarbelakangi terjadinya nika siri?
4.
Bagaimanakah
nikah siri menurut hukum agama dan hukum positif indonesia ?
5.
Bagaimana
pandangan para ulama tentang nikah sirih?
6.
Bagaimana
danpak yang ditimbulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya?
C.
Tujuan
1. Agar kita mengetahui yang dimaksud
niakah siri.
2. Agar kita mengetahui tata cara pernikahan
menurut islam.
3. Agar kita mengetahui sah
tidahnya nikah sirih menurut hukum islam dan hukum posotif Indonesia.
4. Agar kita mengetahui bagaimana
pandangan ualam tentang nikah siri.
5. Agar kita mengetahui faktor apa saja
yang melatarbelakangi terjadinya nikah siri.
6. Agar kita mengetahui danpak
yang ditimulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah Siri
Perkawinan adalah aqad antara
calon laki istri untuk memenuhi hajat jenis kelamin yang diatur oleh syari’at.
Sedangkan pengertian dari nikah siri adalah nikah secara rahasia
(sembunyi-sembuyi). Disebut secara rahasia karena tidak dilaporkan kekantor
urusan agama atau KAU bagi muslim atau kantor catatan sipil bagi non muslim.
Nikah Siri adalah
sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini
Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak
terjadinya pencatatan secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam
hal ini Pemerintah yang di wakili Departemen Agama.
Biasanya nikah siri dilakukan karena
dua pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya, namun dipihak lain juga
untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal yag tidak dinginkan atau terjerumus
kepada hal-hal yang dilarang agama.
Pendapat Imam Abu Hanifah, yang dimaksud
dengan nikah siri adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan
tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA dengan tiga imam madzab lainnya. Beliau
menetapkan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal (dalam kondisi normal)
maka diperbolehkan memilih sendiri calon suaminya. Dia tidak hanya tergantung
pada walinya saja. Lebih lanjut beliau menjelaskan wanita baligh dan berakal
juga diperbolehkan aqad nikah sendiri baik dalam kondisi perawan atau janda.
B. Bagaimana
Tata Cara Pernikahan Menurut Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan
tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap
dengan tata cara atau aturan-aturan Allah SWT. Sehingga mereka yang tergolong
ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat kita,
hal ini tidak banyak diketahui orang.
Kami akan mengungkap tata cara penikahan
sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang hanya dengan cara inilah kita
terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Jelas tentang ajaran agamanya karena
meyakini kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya
Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping
hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan.
Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum
Menikah :
1. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki, sebelum ia
memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya,
hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang
baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang ihwal wanita yang
akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan
jujur dan adil.
Begitu
pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta
pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.
2. Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan
tentang bagaimana calon isterinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah
sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah SWT dalam mengambil keputusan. Shalat
istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah SWT agar diberi petunjuk
dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya
dilakukan untuk keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan
jika seseorang mengalami rasa bimbang
untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang penting. Hal ini untuk
menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup. Insya Allah
ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
3. Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat
kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka hendaklah segera
meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali dari wanita
pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia
direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah
bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
a.
Pada
waktu dipinang tidak ada halangan-halangan.
Syari yang menyebabkan laki-laki
dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita
tersebut haram dinikahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa
iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
b.
Belum
dipinang orang lain secara sah
Sebab Islam mengharamkan seseorang
meminang pinangan saudaranya. Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda: "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang
lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli
saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang
saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya." (HR. Jamaah). Apabila
seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-laki
untuk meminangnya.
4. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang
mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan
wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-
masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan
pasangan hidupnya. Dari Jabir radliyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda :
"Apabila salah seorang di
antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu, hendaknya ia
melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya."
Jabir berkata: "Maka aku
meminang seorang budak wanita dan aku
bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR.
Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud,
1832).
Adapun ketentuan hukum yang
diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan ini di antaranya adalah:
a. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki
peminang tanpa disertai mahram.
b. Wanita yang dipinang tidak boleh
berjabat tangan dengan laki-laki yang meminangnya.
5. Aqad Nikah
Dalam
aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua
calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul. Ijab
artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya
menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu
kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam
perkawinan yang dimaksud dengan "ijab qabul" adalah seorang
wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan
lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki
bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
c. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan
mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin).
Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas
kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebih menyukai
mas kawin yang mudah dan sederhana serta
tidak berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAWbersabda:
"Sebaik-baik mahar adalah yang
paling ringan."
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih,
lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh
Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu,
Nabi SAW bersabda:
"Tidaklah sah suatu pernikahan
tanpa wali." (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud.
Wali yang mendapat prioritas pertama
di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.
Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara
lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki,
sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah SAW bersabda: "Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil."
(HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius
Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah Rasul SAW, sebelum
aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah
ataukhuthbatul-hajat.
6. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW
kepada Abdurrahman bin Auf:"....Adakanlah walimah sekalipun hanya
dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854).
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib."Jika kalian
diundang walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang
lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152,
dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri
undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur
hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka
wajib meninggalkan tempat itu. Dari Ali
berkata: "Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu
?alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang
bergambar maka beliau keluar dan bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak
masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu
Majah, shahih, oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii.
Adapun Sunnah yang harus
diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai berikut:
1.
Dilakukan
selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya).
2. Hendaklah mengundang orang-orang
shalih, baik miskin atau kaya.
3.
Sedapat
mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya.
C. Faktor
Yang Melatarbelakangi Terjadinya Nika Siri
Bermacam alasan yang
melatarbelakangi seseorang melakukan nikah siri. Ada yang menikah
karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya
pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah
dengan cara misyar yang penting halal, hal ini terjadi di sebagian besar
Negara Arab . Ada juga yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk
mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu mahal. Atau malah secara
finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena khawatir pernikahannya
tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA
atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan
hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan
seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati,
nikah siri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-masing pasangan.
Pernikahan siri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk mempertahankan
komitmen. Seharusnya orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak
memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari
pelaku/pasangan atau latar belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai
sosial juga turut membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan nikah
terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memedulikan
aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan
mencari celah-celah hukum yang tidak direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan
yang dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus rela
mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang Perkawinan
beserta peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi
seseorang atau pegawai negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan
untuk kali kedua dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat
yang ketat itu, bagi sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis''
yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan
fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah tangan) sampai membuatkan
akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang berkeinginan untuk
memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat.
Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata
masyarakat yang relatif rendah. Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata
cara perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti
tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut sah. Penulis menyebut fenomena itu
sebagai ''kawin alternatif''.
D. Sah
Tidaknya Nikah Siri Menurut Hukum Agama Dan Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Agama
Hukum nikah sirih hukum nikah siri
secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat
dan rukun nikanya terpenuhi pada saat ini nikah sirih digelar. Rukun nikah yaitu
:
1) Adanya kedua mempelai.
2) adanya wali.
3) adanay saki nikah.
4) adanay mahar atau mas kawin.
5) adanay ijab qobul atau akad.
2. Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan
diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya
perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang
berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu
bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab qobul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan
pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama
di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata
agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam
hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang
pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti
dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah").
Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor
Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan,
dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan
perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal
2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun
1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti
apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan
syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk
perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum .
E. Bagaimana
Pandangan Para Ulama Tentang Nikah Siri
Menurut pandangna mahzab hanfi dan
hambali suatu penikahan yang sarat dan rukunya mka sah menurut agama islam
walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang
berbunyi :
artinya “takutlah kamu terhadap
wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan amanah allah dan kamu
halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat allah(ijab
qabul”)(rohil muslaim).
Sedangkan menurut kiayai hisen
muhamad seorang komisioner komnas prempuan menyatakan pernikahan pria dewasa
dengan wanita secara sirih merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut
dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi prempuan bukan
malah merugikannya.
Menurut kalangan Ulama Syiah memang
membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang
berjinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT.
Kalangan Ulama Suni di Indonesia
yang berpendapat bahwa Nikah sirih adalah Halal berdasarkan nash Al-Qur’an (Anisa:3)
dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata
karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu
sendiri.
F. Bagai
Mana Danpak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri Terhadap Perempuan Dan Anaknya
R Valentina, dalam
Perihal Perkawinan menulis , dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak
dicatatkan secara Yuridis Formal.
Pertama,
perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan
kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika
belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan
43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini
artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam
perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula
secara hukum dan hal ini melanggar Hak Asasi Anak (Konvensi Hak Anak).
Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat
lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah
ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang
tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar
perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama
perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka
yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan
perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya.
Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak (Wila
Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat
untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan
perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula
bahwa hal ini memberikan danpak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya
merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya
pencatatan perkawinan, seperti juga pembuatan KTP atau SIM, kita
sesungguhnya membicarakan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara.
Sehingga sudah semestinya memperhatikan prinsip good governance, salah satunya
adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat dan
prosedur yang tidak berbelit-belit (user-friendly). Dengan prosedur yang tidak
berbelit-belit dan biaya yang sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan
perkawinannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pernikah siri adalah nika dibawah
tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena
tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non muslim.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang
tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan
tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap
dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan sesuai dengan
Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya dengan cara
inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan
agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun
nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang
perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada
yang tidak lengkap secara administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah
sirih lebih banyak faktor kerugaiannya dibandingkan faktor keuntungannya.
Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada pihak perempuan dan
anaknya untuk masa depannya.
Faktor yang melatarbelakangi adanya
nikah sirih yaitu
1) faktor ekonomi.
2) proses admisntrasi pernikahan
yang dianggap terlalu sukar.
3) bagi pria yang yang ingin menukah
lagi atau poligami tetap tidak mendapat persetujuan atau disetujui dari istri
ke pertama
4) dari awal baik siwanita atau pria
yang melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik, hanya sekedar
menghalalkan hubungan persetubuhan saja.
B. Saran.
Kepada pemuda pemudi islam tidak
mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat merugikan. Dan berusaha
menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan penyuluhan dan
dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang –
Undang. Yogyakarta : Liberty.
2. Mushlihin Al-Hafizh .www.referensimakalah.com/2012/09/hukum-nikah-siri-menurut-pandangan-ulama.html
3.
Sidik,
Abdullah. 1983. Hukum Perkawinan Islam.Jakarta : Tintamas.
0 komentar:
Posting Komentar