Pola
Pembelajaran di Pesantren
Judul Buku :pola
pembelajaran di pesantren
Nama Penulis :Drs.
Maksum, MA
Tahun Terbit :2003
Tebal Buku :134
Halaman
Di terbitkan :
oleh jendral kelembagaan Agama Islam
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Sejarah kemunculan pesantren
Pesantern merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara
kyai atau usdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil
tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama(pondok untuk mengaji dan
membahas buku-buku teks ke agamaan karya ulama masa lalu.
Jauh sebelum masa kemerdekaan:
pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara, hampir di seluruh pelosok
nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan isalam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun
menggunakan nama yang berbeda-beda seperti meunasah di Aceh, Surau
di Minangkabau dan pedsantren di jawa. Namun demikian, secara historis awal
kemunculan dan asal usul semua itu masih kabur.
Banyak
penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan hasil
adopsi dari model perguruan yang di selenggarakan orang-orang hindu dan Budha
Sebagaimana di ketahui. Sewaktu islam dating dan berkembang di pulau jawa telah
dan lembaga perguruan hindu dan budha yang menggunakan sistem biara dan asrama
sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada
para pengikutnya. Bentuk pembelajaran seperti ini kemudian menjadi contoh
sebagai pembelajaran para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan
pengajaran islam. Kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk system biara
dan asrama dengan mengubah isinya dengan pengajaran agama islam yang kemudian
di kenal sebagai pondok pesantern. Sejalan dengan ini pesantern lahir semenjak
masa awal kedatangan islam di jawa, masa Wali Songo. Di duga kuat bahwa
pesantren pertama kali didirikan di desa Gapura Gresik Jawa Timur dan di
hubungkan dengan usaha Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Ampel)
Istilah
pesantern itu sendiri seperti halnya
mengaji bukanlah berasal dari istilah bahasa Arab, melainkan Dari India.
Demikian juga istilah pondok langgar, surau di Minaangkabau dan Rangkang
di Aceh.pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Selesai
shalat berjamaah sang kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sederhan.
Isinya pengajian biasanya berkisar pada rukun iman, rukun islam serta akhlaq
lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari berkat caranya yang menarik dan
ke ikhlasannya yang tinggi serta prilakunya yang shaleh, lama kelamaan
jamaahnya bertaambah banyak.
Dalam
sejarah perkembangannya, fungsi pondok pesantren adalah mencetak ulam dan ahli
agama, hingga dewasa ini fungsi poko itu tetap terpelihara dan di pertahankan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, seiring dengan kegiatan dan pengajaran
agam beberapa pesantren telah melakukan pembaharuan dengan mengembangkan
komponen-komponen pendidikan lainnya. Seperti di tambahkannya system sekolah.
Adanya pendidikan kesenian, pendidikan bahasa asing ( Arab dan Inggris),
pendidikan jasmani serta pendidikan keterampilan.
BAB II
METODE DAN PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN
1. Metode Pembelajaran
Secara atimologis metode berasal dari kata”met”dan”hodes”
yang berarti melalui. Sedangkan secara istilah metode adalah jalan atau cara
yang harus di tempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pembelajaran
berarti kegiatan belajar mengajar yang interaktif yang terjadi antara santri
sebagai peserta didik(muta’alim) dan kyai atau ustadz di pesantren sebagai
pendidik(mua’lim) yang diatur berdasar kurikulum yang telah di susun dalam
rangka mencapai tujuan. Jadi metode pembelajaran adalah cara-cara yang mesti
ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar antara santri dan kyai untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
Metode pembelajaran di pesantren ada yang besifat
trdisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut
kebiasaan-kebiasaan yang telah lama di pergunakan pada institusi pesantren atau
merupakan metode pembelajaran asli(original) pesantren.
Metode pembelajaran yang bersifat baru( modrn,tajdid) merupakan metode pembelajaran hasil
pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang
berkembang di masyarakat modern.
A.Metode
Sorogan
1. Pengertian
Metode sorogan merupakan kaegiatan pembelajaran bagi para
santri yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan
perseorangan(individu), di bawah bimbingan ustadz atau kyai.
2. Teknik Pembelajaran
Pengajian dengan
sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu di mana
di situ tersedia tempat duduk seorang kyai atau ustadz, kemudian di depannya
terdapat bangku pendek unik meletakan kitab bagi santri yang menghadap.
Pelaksanaannya
dapat di gambarkan sebagai berikut:
1. Santri berkumpul ditempat pengajian
sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang
hendak di aji.
2. Seorang santri yang mendapatkan
giliran menghadap langsung secara tatap muka kepada gurunya.ia membuka bgian
yang akan di aji dan meletakannya di atas meja yang telah tersedia di depan kyai
atau ustadz,
3. Kyai atau ustadz membacakan teks
dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan dan kemudian
memberikan artinya dengan menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.
4. Santri dengan tekun mendengarkan apa
yang dibacakan kyai atau ustadz dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya.
5. Santri kemudian menirukan kembali
apa yang di bacakan kyai atau ustadz secara sama.
6. Kyai atau ustadz mendengarkan dengan
tekun pula apa yang di baca sntrinya sambil melakukan koreksi-koreksi
seperlunya.
Meteode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang
sangat bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika
berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh dirinya di hadapan kyai atau
ustadznya.
1. Tahap Persiapan
Ada beberapa hal yang di persiapkan sebelumnya oleh
kyai/ustadz maupun oleh santri, yaiti:
a) Penyusunan kurikulum yang berisi
jenis materi(tafsir,fiqh, dan sebagainya). Pada setiap tingkatan dengan
berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi bacaan/peganhannya.
b) Santri dengan bimbingan ustadz yang
akan di pelajarinya.
c) Pendataan nama-nama santri yang
berada dibawah bimbingan seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk mendata
tingkat aktivitas dan perkembangan kemampuan santri untuk waktu berikutnya,
d) Santri menyiapkan kitab yang akan
dipelajarinya beserta alat alat tulis yang meliputi pena/pulpen serta buku
tulis yang berfungsi untuk mencatat hal-hal penting.
2. Tahapan Pelaksanaaan
Adapun
langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Menciptakan situasi dan kondisi yang
komunikatif antara santri dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
b) Dalam membaca dan menerjemahkan teks
Arab gundul seorang ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan
bahasa yang mudah untuk difahami oleh santrinya.
c) Setelah membacakan dan menerjemahkan
satu alinea atau satu topic tertentu sesuai keinginan dan pertimbangan
ustadz,santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah di baca tadi
dengan pembetulan apabila ada kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya.
d) Setelah membaca dan menerjemahkan
dengan benar, seorang ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri
tadi untuk menjelaskan maksud dari yang telah dibaca tadi, ini dilakukan untuk
melatih daya tangkap(pemahaman) santri terhadap teks.
e) Setelah santri menjelaskan, ustadz
mengulas apa yang telah dijelaskan oleh santri tadi serta menambahkan atau
membetulkan apabila penyampain santri ada hal-hal yang kurang atau keliru
Metode sorogan dipergunakan untuk
pembelajaran kepada santri khusus yang memiliki kemampuan untuk dididik menjadi
ustadz,kegiatannya dailakukan melalui:
a) Santri diminta untuk membaca teks
kitab yang dipilihnya dengan mengurangi penggunaan harakat/syakal.
b) Kepada para santri diminta juga
untuk tidak member catatan pada teks kitab yang dibacanya dengan
simbol-simbol(tanda-tanda) seperti utawi,iki,iku, dan lain-lain.
c) Kepada santri diminta untuk
menjelaskan isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar.
3. Evaluasi
Evaluasi adalah cara penilaian yang dilakukan oleh seorang
ustadz untuk mengetahui kemampuan santri dalam asfek pengetahuan(kognisi) aspek
sikap(afeksi) dan asfek keterampilan (skill) terhadap materi pembelajaran yang
telah diberikannya.
Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam pembelajaran
dengan menggunakan metode sorogan biasanya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a) Santri disuruh membaca dan
menerjemahkan teks yang telah disampaikan oleh ustadz pada pertemuan yang lalu.
Jika seorang santri berhasil membaca dan menerjemahlan dengan baik, maka
pelajaran yang baru dapat diberikan. Akan tetapi jika sebaliknya maka santri
tadi diharuskan untuk mempelajari kembali (mengulang).
b) Jika materi pembelajaran yang di
pelajari dalam tatap muka yang telah dianggap telah dikuasai dengan baik oleh
santri tersebut kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan materi baru tanpa
terlebih dahulu meminta santri untuk membaca dan menerjemahkan teks yang
dipelajari dalam pertemuan yang lalu.
c) Penilaian dapat juga dilakukan pada
saat seorang santri disuruh untuk membaca dan menterjemahkan teks Arab gundul
setelah dibacakan dan diterjemahkan oleh ustadz.
Hal-hal
yang biasanya di perhatiakan dalam
menilai tingkat kemampuan para santri dengan menggunakan metode sorogan adalah
:
a) Pembacaaan yang dilakukan oleh
seorang santri apakah suadah benar dalam arti sesuai dengan aturan dab tata
bahasa Arab baik pada tingkatan kata(sharaf) maupun pada tingkatan kedudukan
suatu kata struktur kalimat(nahwu) atau masih belum sesuai.
b) Santri mampu menunjukan kedudukan
suatu kata dengan menggunakan ucapan simbolilk tertentu melalui pola terjemahan
kata demi kata disertai pelapalan symbol atau tanda oleh santri.
c) Pemahaman terhadap teks yang telah
dibaca dalam bentuk uraian penjelasan atau kandungan teks setelah seorang
santri menyeselaikan pembacaan sekian kalimat atau sekian paragraph.
A. Metode Bandongan
1. Pengertian
Metode bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Pada
metode ini berbeda dengan metode sorogan. Metode ini dilakukan oleh seorang
kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk
mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab.
2. Teknik Pembelajaran
Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode
bandongan, seorang kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a) Jumlah jama’ah pengajian adalah para
santri yang telah menguasai dengan baik pembelajaran dengan menggunakan metode
sorogan. Oleh karena itu, metode bandongan biasanya diselenggarakan untuk para
santri yang bukan lagi pemula, melainkan untuk para santri tingkat lanjutan dan
tinggi.
b) Penentuan jenis dan tingkatan kitab
yang dipelajari biasanya memperhatikan tingkatan kemampuan para santri.
c) Walaupun yang lebih aktif dalam
pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para
santri dilibatkan keaktifannya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan
Tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks tertentu dan lain sebagainya.
d) Untuk membantu pemahaman para
santri, seorang kyai atau ustadz terkadang mempergunakan pula alat bantu atau
media pengajaran seperti: papan tulis, over head projector, pengeras suara,
peta dan alat peraga lainnya.
3. Tahap Persiapan
Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran,biasanya terlebih
dahulu seorang kyai atau ustadz mempersiapkan apa-apa yang di perlukan sesuai
dengan pemilihan metode pembelajaran, yaitu:
a) Memiliki gambaran mengenai tingkat
kemampuan para santri guna menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan
disampaikan.
b) Merumuskan tujuan yang akan dicapai
dari pemilihan kitab tersebut dan tujuan pada setiap kali pertemuan.
c) Menetapkan waktu yang diperlukan
untuk pembacaan dan penjelasan, waktu yang diperlukan untuk member kesempatan
kepada para santri untuk bertanya, dan waktu yang diperlukan untuk evaluasi
pada setiap kali pertemuan.
d) Mempersiapkan alat atau alat peraga
yang diperlukan pada pertemuan tersebut.
e) Mempersiapkan catatan catatan khusus
tentang batas-batas materi yang akan disajikannya dan tentang penilaian kepada para santri.
f)
Mempersiapkan bahan yang dapat digunakan untuk perluasan
pembahasan atau penambahan wawsan.
g) Melakukan persiapan fisik yang
memadai.
4. Tahap Pelaksanaan
Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
metode bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah:
a) Seorang kyai menciptakan komunikasi
yang baik dengan para santri
b) Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri
c) Seorang kyai atau ustadz dapat
memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks arab gundul disertai dengan
terjemahannya
d)
Pada
pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau ustadz terkadang tidak langsung
membaca dan menerjemahkan, ia terkadang menunjuk secara bergiliran.
3. Evaluasi
Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran diatas, seorang
kyai/ustadz biasa melakukannya melalui dua macam tes, pertama, pada
setiap tatap muka atau pada tatap muka tertentu. Kedua, pada saat telah
dikhatamkannya pengkajian terhadap suatu kitab tertentu.
C. Metode Musyawarah /
Bahtsul Masa’il
1.
Pengertian
Metode musyawarah atau dalam
pengertian lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih
mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah
tertentu dengan membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh seorang kyai atau ustadz, atau
mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang
telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas
mengajukan pertanyaan-pertanyaan maupun pendapatnya.
Teknik pembelajaran
Untuk melakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode musyawarah kyai/ustadz biasanya mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan berikut :
a)
Peserta
musyawarah adalah para santri yang berbeda pada tingkat menengah atau tinggi
b)
Peserta
musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yang mencolok. Ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah.
c)
Topic atau
persoalan (materi) yang dimusyawarahkah biasanya terlebih dahulu oleh kyai atau
ustadz pada pertemuan sebelumnya.
d)
Pada
beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat
dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.
1. Tahap persiapan
Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah terlebih
dahulu memberikan topik-topik materi yang akan dimusyawarakan. Pilihan topik
itu sendiri amat menentukan. Topik yang menarik umumnya mendapatkan respon yang
baik dan memberikan dorongan kuat kepada santri untuk belajar. Penentuan topik
secara lebih awal ini dimaksudkan agar para peserta dapat mempersiapkan diri
jauh-jauh hari sebalum pelaksanaan
2. Tahap Pelaksanaan
Sebagai permulaan, seorang kyai atau ustadz atau salah
seorang santri senior menjelaskan secara singkat permasalahan yang akan
dibahas. Pada pesantren yang memiliki mahad aly (tahasus tingkat tinggi)
penyaji adalah para santri yang telah disusun secara terjadwal dengan topic
tertentu untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalan-persoalannya.
Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan untuk
menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji yang telah mendapatkan tugas.
Dalam kegiatan musyawarah ini, tanggapan, pertanyaan atau
sanggahan dari para santri peserta musyawarah diarahkan langsung oleh kyai atau
ustadz. Tanggapan dan jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran
setelah tanggapan dari peserta. Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan musyawarah
biasanya memberikan arahan-arahan atau pemecahan mengenai persoalan atau
permasalahan tersebut.
Ustadz/kyai juga hendaknya
mengarahkan dan membimbing jalannya musyawarah agar tidak kabur atau melenceng
dari tujuan.
2. Evaluasi
Kegiatan penilaian dilakukan oleh
seorang ustadz/kyai selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang
menjadi perhatiannya adalah kwalitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang
meliputi : kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan
serta bahasa yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami santri lain, serta
kualitas pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai
adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan pesrta
dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang
menjadi rujukan.
D. Metode Pengajian Pasaran
1.
pengertian
Metode pengajian pesaran adalah kegiatan belajar para santri
melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan
oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama
tenggang waktu tertentu. Tetapi umumnya pada bulan Ramadan selama setengah
bulan, duapuluh hari atau terkadang sebulan penuh tergantung pada besarnya kitab
yang diaji. Pada kenyataannya metode ini lebih mirip dengan metode bandongan.
Akan tetapi pada metode ini target utamanya adalah “selesai”.
Pengajian pasaran ini dahulu banyak dilakukan di
pesantren-pesantren tua di jawa dan dilakukan oleh kyai-kyai senior di
bidangnya. Titik beratnya pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagai mana pada
metode bandongan.
2.
Teknik pembelajaran
Sebelum memasuki bulan Ramadhan, beberapa pesantren biasanya
mengeluarkan jadwal, jenis kitab dan kyai akan melakukan balaghpasaran di bulan
itu. Informasi ini dengan mudah beredar
di pesantren-pesantren lainnya juga. Kegiatan pengajian itu sendiri biasanya
dilakukan sepanjang hari. Waktu istirahat biasanya hanya waktu shalat, waktu
berbuka puasa dan setelah jam dua belas malam. Kitab yang telah ditentukan
dibaca dan diterjemahkan oleh seorang kyai secara cepat, sedangkan santri
menyimak untuk memberikan catatan pada bagian-bagian tertentu saja atau
mencatat penjelasan-penjelasan singkat yang biasanya memang diberikan.
Setelah pembacaan selesai (khatam),
para santri kembali kepesantrennya semula. Pengajian berakhir biasanya beberapa
hari menjelang idul fitri.
3. Evaluasi
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
metode pengjian pasaran merupakan kegiatan kegiatan pengajian yang hamper sulit
dievaluasi. Tanda keberhasilannya yang paling dapat diukur adalah apabila
pengajian itu dapat diselesaikan atau kitab dapat dibacahingga selesai
(khatam). Kebanggaan santri adalah jika ia selama dalam bulan Ramadhan itu
berhasil merampungkan kegiatan pengajiaan pasarannya dengan beberapa buah kitab
yang tebal.
3. PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN
A. Pengertian
Sistem dapat diartikan sebagai satu perangkat atau mekanisme
yang terdiri dari bagian-bagian di mana, satu sama lain saling berhubungan dan
saling keterkaitan. Dengan demikian pengertian sistem pendekatan dalam
pembelajaran di pesantren adalah cara-cara pendekatan yang ditempuh dalam
kegiatan pembelajaran kitab-kitab kuning di suatu pesantren agar tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai secara optimal.
B.
Prinsip-prinsip
umum dalam pembelajaran.
Bertitik tolak dari sistem pendekatan di atas, maka dalam
kegiatan pembelajaran disuatu pesantren prinsip-prinsip umum belajar dan
motivasi yang perlu diterapkan pada umumnya meliputi:
1. Prinsip kebermknaan
Prinsip ini memiliki arti bahwa para santri akan mempelajari
sesuatu hal apapun adalah jika sesuatu itu bermanfaat atau bermakna bagi
kehidupannya baik untuk masa kini maupun untuk masa mendatang, baik bagi
kepentingan hidupnya sendiri maupun kepentingan masyarakatnya. Dengan kata lain
salah satu faktor yang mendorong atau memotivasi santri untuk belajar adalah
adanya manfaat praktis dari sesuatu yang dipelajarinya itu dalam kehidupan.
Oleh karena itu biasanya seorang kyai dalam mengajarkan suatu materi pelajaran
kepada para santrinya melakukan:
a)
Menghubungkan
pelajaran yang ia berikan dengan minat dan nilai-nilai santri.
b)
Menghubungkan
pelajaran dengan kehidupan masa depan santri.
2. Prinsip Prasyarat.
Pada prinsip ini seorang santri akan tergerak untuk
mempelajari sesuatu hal yang baru apabila ia telah memiliki semua prasyarat
yang diperlukan untuk mempelajarinya. Jika santri telah memilikinya, maka ia
akan merasa bahwa pelajarannya itu akan bermakna. Ia akan mampu menerima
hubungann pengetahuan yang lebih dan lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena
para kyai di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pengajar tetapi juga
berfungsi sebagai orang tua bagi para santri yang senantiasa memberikan
bimbingan-bimbingannya dalam suasana kekeluargaan. Sehingga dalam struktur
sosialnya pesantren lebih mencerminkan sebagai kesatuan keluarga dalam jumlah
besar diaman santri yang masih muda usianya (junior) memperlakukan dan
menganggap sebagai kakanya terhadap santri yang lebih tua usianya. Demikian
pula sebaliknya.
3. Prinsip
Prinsip ini menutut agar pendidik
mendorong para santrinya agar lebih banyak lagi mempelajari sesuatu dengan cara
penyajian yang disusun sedemikian rupa sehingga pesan-pesan pendidik terbuka
bagi santri. Untuk itu para pendidik biasanya melakukan langkah-langkah berikut
ini:
a) Mejelasakan kepada para santri
tentang tujuan-tujuan pembelajaran yang jelas sehingga segala sesuatu yang
diharapkan oleh kyai dapat dimengerti oleh para santrinya.
b) Menunjukkan hubungan-hubungan sebab
akibat, mengapa hal-hal tersebut baru dipelajari.
c) Menghindari segala penjelasan yang
dapat mengurangi minat belajar para santri.
d) Merangsang kemampuan sensoris para
santri dengan bantuan alat-alat peraga yang relevan dengan materi pelajaran.
e) Mempberikan kesempatan kepada para
santri untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti atau belum jelas.
4. Prinsip kebaruan
Para santri biasanya akan lebih tertarik untuk mempelajari
sesuatu hal apabila hal itu adalah sesuatu yang baru yang belum diketahuinya.
5. Prinsip Keterlibatan
Prinsip ini menjelasakan bahwa para
santri dapat belajar lebih giat dan aktif bilamana mereka terlibat secara aktif
dalam berbagai kegaiatan pembelajaran di pesantren. Keterlibatan para santri
secara aktif ini biasanya dilakukan pada waktu kegiatan praktek ibadah
6. Prinsip Kebersamaan
Dalam dunia pesantren dikarenakan kehidupan para santri
senantiasa berada dalam kehidupan sosial yang intens,maka dalam kegiatan
belajarpun mereka akan melakukannya bersama-sama. Misalnya sewaktu ditugaskan
untuk menghafalkan teks-teks tertentu, mereka akan melakukannya sacara
bersama-sama didalam bilik masing-masing, demikian juga ketika muthala’ah
(menelaah materi yang sudah atau akan dipelajarinya)suatu kitab, mereka akan
melakukannya secara berjamaah(berdiskusi).
C.
Komunikasi
Interaktif kyai dan Santri
Salah satu kelebihan sistem pendidikan pesantren
dabandingkan sistem pendidikan lain adalah adanya hubungan yang akrab dan bersifat
khusus hunanis antara kyai atau ustadz dengan orang tua atau keluarga santri
atau dengan para santri itu sendiri. Seorang calon santri datang kepesantren
umumnya diantarkan oleh kedua orang tua atau keluarganya,kemudaian dititipkan
atau dipasrahkan secara langsung kepada kyai atau ustadz untuk dididik
dipesantren. Hubungan semacam itu tidak hanya krtika penyerahan,melainkan dalam
banyak peristiwa pendidikan dipesantre.
BAB 1V PROSES PENYAJIAN MATERI
A.Langkah
pelaksanaan
Langkah
pelaksanaan yang terdiri empat tahap biasanya di lakukan oleh seorang kyai dan
ustadz dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Tahap-tahap tersebut islah:
1. Tahapn awal
Seoranga
kyai sebelum melakukan kegiatan kepada santri, biasanya ia melakukan persiapan
khusus yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)
Menelaah
(mutahala’ah) materi dari kitab kuning tertentu yang akan di ajarkan pada
santri pada pertemuan mendatang.
b)
Menelaah
kitab-kitab lain yang memiliki relevansi dengan persoalan yang serupa dengan
materi yang akan di sajikan.
c)
Membuat
catatan-catatan khusus tentang hal-hal yang di anggap penting dari penelaahaan
terhadap kitab-kitab lain itu.
d)
Merancang
dan mempersiapkan alat bantu (alat peraga) yang di butuhkan untuk mrngajarkan
materi tersebut.
B.
Langkah
pelaksanaan
Persiapan
umum di maksudkan sebagai hal-hal yang di persiapkan oleh kyai/ustadz sebelum
di lakukannya kegiatan pengajian untuk para santri.ada beberapa hal sebelum
kegiatan pembelajaran terhadap suatu kitab tertentu di mulai, yaitu:
1.
Penyusunan
kurikulum tertentu(terkadang dalam bentuh hidden kurikulum) yang yang berisi
perjenjangan kitab-kitab kepada kitab-kitab untuk tingkat pemula, tingkat
menengan dan tingkat tinggi.
2.
Penentuan
waktu yang tepat untuk kegiatan pembelajaran terhadap suatu kitab tertentu.
3.
Pemilihan
tempat untuk di langsungkannya kegiatan pembelajaran.
4.
Pemilihan
metode pembelajaran di sesuaikan dengan tingkat kemampuan para santrinya.
5.
Penyediaan
alat-alat bantu pengajaran/alat peraga yang berhubungan dengan maetri
pembelajaran.
SISTEM
PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN SALAF
A. Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain.
Pondok pesantren memiliki karakteristik unik dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan karekateristik ini tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain selain pesantren. Jika ada pun, itu hanya merupakan hasil adopsi dari lembaga pendidikan pesantren.
Keunikan lain yang dimiliki pesantren adalah dalam sistem pembelajarannya yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional (salaf), walaupun keberadaan tipologi pesantren pada saat ini telah mengalami perubahan, sehingga ada yang dinamakan pondok pesantren salaf dan pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif). Akan tetapi, dengan pergeseran nama dan tipologi pesantren tersebut, pada setiap pesantren apapun tipologinya, sistem pendidikan tidak serta merta dihapuskan, paling tidak ditambah, seperti pada jenis pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif).
B. Karakteristik Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik atau ciri khas, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Sarijo dalam Sejarah Pesantren, (t.t. : 9) mengatakan bahwa, pesantren memiliki unsur-unsur minimal:
1) kiai yang mendidik dan mengajar;
2) santri yang belajar; dan
3) masjid.
Mujamil Qomar, (t.t.:19) menganalisa bahwa, tiga unsur pesantren ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Lebih lanjut Mujammil mengatakan, unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Berkenaan dengan hal tersebut, Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.
1. Masjid
Di dunia pesantren masjid dijadikan ajang atau sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam pengertian modern maupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh masjidlah yang menjadi pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik dengan pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya (Zamakhsyari Dhofier, 1985:49)
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri (Mujamil Qomar, t.t.:21) Menurut Abdurrahman Wahid dalam Majalah Santri (1997:51) mengatakan bahwa, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan. Singkatnya, masjid di dunia pesantren difungsikan untuk beribadah dan tempat mendidik para santri. Juga, sebagai ciri khas lembaga pendidikan pesantren.
2. Pondok
Fenomena pondok pada pesantren merupakan sebagian dari gambaran ksederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhaan santri di pesantren. Seperti ungkapan Imam Bawani, (1993:95), pondok-pondok dan asrama santri tersebut adakalanya berjejer laksana deretan kios di sebuah pasar. Di sinilah kesan kekurangteraturan, kesemerawutan dan lain-lain. Tetapi fasilitas yang amat sederhana ini tidak mengurangi semangat santri dalam mempelajari kitab-kitab klasik.
Pondok bukanlah ‘asrama’ atau ‘internaat’. Jika asrama telah disiapkan bangunannya sebelum calon penghuninya datang. Sedang pondok justtru didirikan atas dasar gotong -royong yang telah belajar di pesantren. Dari uraian Zuhri tadi, dapat dikatakan, bahwa asrama dibangun dari kalangan berada dengan persiapan dan persediaan dana yang relatif memadai, sedang pondok dibangun dari kalangan rakyat biasa yang dibangun didasarkan pada desakan kebutuhan.
Tatanan bangunan pondok pesantren menggambarkan bagaimana kiai atau wasilun (orang yang sudah mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di depan santri-santri yang masih salik (menapak jalan) mencari ilmu yang sempurna (Abdurrahman Wahid, t.t.:51), kalau dalam istilah Ki Hajar Dewantoro, bahwa komposisi bangunan pondok pesantren melambangsan posisi kiai sebagai ing ngarso sung tulodo atau dalam bahasa al-Quran dikenal dengan istilah uswatun hasanah.
3. Pengajaran kitab-kitab klasik
Kitab-kitab klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning yang terpengaruh oleh warna kertas. Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dulu yang berisikan tentang ilmu keislaman seperti: Fiqh, hadits, tafsir maupun tentang akhlak. Ada dua esensinya seorang santri belajar kitab-kitab tersebut, di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri seorang santri yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus juga mampu menerapkan bahasa kita tersebut menjadi bahasanya (M. Bahri Ghazali, 2001:24)
Penggalian khazanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu satu unsur yang terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi imu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren (Faisal Ismail, 1997:116-117)
4. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren (M. Bahri Gahzali, 2001:22-23)
Menurut Zamakhsyari Dhofier, (1985:51-52) di dalam proses belajar mengajar di pesantren santri terbagi atas dua tipe, yaitu:
1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu santri yang menetap, tinggal bersama kiai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga sebagai pengurus pesantren yang ikut bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Menurut Nurcholis Madjid, (1997:52) santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
Menurut Zamakhsyari, (1985:51) ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu:
Motif menuntut ilmu; artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya.
Motif menjunjung tinggi akhlak; artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
2) Santri kalong
Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari desa sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap di dalam pesantren, melainkan semata-mata belajar dan secara langsung pulang ke rumah setelah belajar di pesantren (Zamakhsyari, 1985:52) Sejalan dengan Zamakhsyari, Nurcholis Madjid, 1997:52) mengatakan bahwa santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulah ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Sebuah pesantren yang besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim dalam pesantren di samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya (M. Bahri Ghazali, 2001:23).
5. Kiai
Kiai di samping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manjerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan dari kecenderungan kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya (Mujamil Qomar, t.t.:20) Ali Maschan Moesa, (1999:60) mencatat: di Jawa disebut Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Teungku, di Sumatera/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.
Chozin Nasuha dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefudin Zuhri, (1999:264) Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari berbagai perspektif lainnya. Muhammad Tholchah Hasan, (1997:20) melihat kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasi. Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri (Mujamil Qomar, t.t:20)
C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Salaf
1. Sorogan
Sistem dan pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim (Djaelani, 1980:54).
Metode sorogan merupakan sistem metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping aplikasi metode ini membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif dan efesien (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
2. Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku – buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkan.mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang kata–kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorentasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri–santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang bagi sanrti untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran melalui wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menengah (Menurut Mujamil Qomar, t.t.:143).
Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal (Husein Muhammad, 1999:281) Akan tetapi, bukan berarti metode sorogani dan bandongan tidak memiliki kelebihan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai kelebihannya.
Ismail SM, (2002:54) merasakan bahwa metode sorogan secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai/ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai/ustadz.
Kedua metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuesi logis dari layanan yang sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini dilakukan justru mengarah pada layanan secara individual kepada peserta didik. Metode sorogan justeru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Adapun dalam bandongan, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.
Dalam dunia pesantren, santri yang cerdas dan memiliki kelebihan, dan mendapat perhatian istimewa dan didorong secara pribadi oleh kiai secukupnya. Semua santri mendapat perhatian yang seksama dari kiai. Tingkah laku moralnya secara teliti diperhatikan. Santri diperlakukan sebagai makhluk terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada santri ditanamkan perasaan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup, dan mengamalkan ilmu merupakan kewajiban dan ibadah. Kepandaian berpidato dan berdebat dikembangkan untuk melatih daya kritis dan kreatif pada santri.
Untuk lebih mengembangkan pengetahuan para santri dan sebagai evaluasi keberhasilan santri, maka santri yang dianggap sudah senior atau memiliki pengetahuan yang memadai diangkat oleh kiai sebagai badal (pengganti) jika kiainya berhalangan.
Di beberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santari-santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiainya”. Perbuatan seperti ini di dunia pesantren merupakan konsekuensi cerminan santri yang memiliki pengetahuan tinggi, dia harus memiliki etika dan akhlak yang lebih baik dari pada santri-santri yunior, karena mereka merupakan suri tauladan setelah kiai.
D. Penutup
Sebagai rangkaian akhir dari pembahasan makalah ini, penulis akan menyampaikan sebuah keyakinan kepada pembaca, bahwa pesantren telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang telah banyak mencetak kader bangsa yang berilmu dan berakhlak mulia. Namun, saat ini ada sebuah gejala di masyarakat luas, yaitu gejala menjauhi pendidikan yang berbasis agama, semuanya berkiblat ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faham materialistik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, pesantren mulai ditinggalkan, dan yang kejar adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya cepat mendapatkan uang. Akibatnya, banyak sekarang orang pintar tapi miskin moral. Sudah saatnya masyarakat untuk kembali kepada moral dengan mempercayakan pendidikannya kepada dunia pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Bawani, Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.
Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,Jakarta: LP3ES.
Fathurrahman, Pupuh, 2000, Keunggulan Pendidikan Pesantren; Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abads XXI, Bandung: Tunas Nusantra.
Ghazali, Bahri, M., Dr., MA., 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu.
Hasan, Muhammad Tolhah. 1996. “Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional”, Santri, No. 03, Agustus.
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan bdan Perkembangan. Jakarta: LISK.
Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik dalam wacana Civil Society. Surabaya: LEPKISS.
Qomar, Mujamil, Prof., Dr., M.Ag., t.t., Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain.
Pondok pesantren memiliki karakteristik unik dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan karekateristik ini tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain selain pesantren. Jika ada pun, itu hanya merupakan hasil adopsi dari lembaga pendidikan pesantren.
Keunikan lain yang dimiliki pesantren adalah dalam sistem pembelajarannya yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional (salaf), walaupun keberadaan tipologi pesantren pada saat ini telah mengalami perubahan, sehingga ada yang dinamakan pondok pesantren salaf dan pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif). Akan tetapi, dengan pergeseran nama dan tipologi pesantren tersebut, pada setiap pesantren apapun tipologinya, sistem pendidikan tidak serta merta dihapuskan, paling tidak ditambah, seperti pada jenis pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif).
B. Karakteristik Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik atau ciri khas, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Sarijo dalam Sejarah Pesantren, (t.t. : 9) mengatakan bahwa, pesantren memiliki unsur-unsur minimal:
1) kiai yang mendidik dan mengajar;
2) santri yang belajar; dan
3) masjid.
Mujamil Qomar, (t.t.:19) menganalisa bahwa, tiga unsur pesantren ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Lebih lanjut Mujammil mengatakan, unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Berkenaan dengan hal tersebut, Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.
1. Masjid
Di dunia pesantren masjid dijadikan ajang atau sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam pengertian modern maupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh masjidlah yang menjadi pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik dengan pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya (Zamakhsyari Dhofier, 1985:49)
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri (Mujamil Qomar, t.t.:21) Menurut Abdurrahman Wahid dalam Majalah Santri (1997:51) mengatakan bahwa, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan. Singkatnya, masjid di dunia pesantren difungsikan untuk beribadah dan tempat mendidik para santri. Juga, sebagai ciri khas lembaga pendidikan pesantren.
2. Pondok
Fenomena pondok pada pesantren merupakan sebagian dari gambaran ksederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhaan santri di pesantren. Seperti ungkapan Imam Bawani, (1993:95), pondok-pondok dan asrama santri tersebut adakalanya berjejer laksana deretan kios di sebuah pasar. Di sinilah kesan kekurangteraturan, kesemerawutan dan lain-lain. Tetapi fasilitas yang amat sederhana ini tidak mengurangi semangat santri dalam mempelajari kitab-kitab klasik.
Pondok bukanlah ‘asrama’ atau ‘internaat’. Jika asrama telah disiapkan bangunannya sebelum calon penghuninya datang. Sedang pondok justtru didirikan atas dasar gotong -royong yang telah belajar di pesantren. Dari uraian Zuhri tadi, dapat dikatakan, bahwa asrama dibangun dari kalangan berada dengan persiapan dan persediaan dana yang relatif memadai, sedang pondok dibangun dari kalangan rakyat biasa yang dibangun didasarkan pada desakan kebutuhan.
Tatanan bangunan pondok pesantren menggambarkan bagaimana kiai atau wasilun (orang yang sudah mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di depan santri-santri yang masih salik (menapak jalan) mencari ilmu yang sempurna (Abdurrahman Wahid, t.t.:51), kalau dalam istilah Ki Hajar Dewantoro, bahwa komposisi bangunan pondok pesantren melambangsan posisi kiai sebagai ing ngarso sung tulodo atau dalam bahasa al-Quran dikenal dengan istilah uswatun hasanah.
3. Pengajaran kitab-kitab klasik
Kitab-kitab klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning yang terpengaruh oleh warna kertas. Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dulu yang berisikan tentang ilmu keislaman seperti: Fiqh, hadits, tafsir maupun tentang akhlak. Ada dua esensinya seorang santri belajar kitab-kitab tersebut, di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri seorang santri yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus juga mampu menerapkan bahasa kita tersebut menjadi bahasanya (M. Bahri Ghazali, 2001:24)
Penggalian khazanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu satu unsur yang terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi imu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren (Faisal Ismail, 1997:116-117)
4. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren (M. Bahri Gahzali, 2001:22-23)
Menurut Zamakhsyari Dhofier, (1985:51-52) di dalam proses belajar mengajar di pesantren santri terbagi atas dua tipe, yaitu:
1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu santri yang menetap, tinggal bersama kiai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga sebagai pengurus pesantren yang ikut bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Menurut Nurcholis Madjid, (1997:52) santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
Menurut Zamakhsyari, (1985:51) ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu:
Motif menuntut ilmu; artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya.
Motif menjunjung tinggi akhlak; artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
2) Santri kalong
Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari desa sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap di dalam pesantren, melainkan semata-mata belajar dan secara langsung pulang ke rumah setelah belajar di pesantren (Zamakhsyari, 1985:52) Sejalan dengan Zamakhsyari, Nurcholis Madjid, 1997:52) mengatakan bahwa santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulah ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Sebuah pesantren yang besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim dalam pesantren di samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya (M. Bahri Ghazali, 2001:23).
5. Kiai
Kiai di samping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manjerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan dari kecenderungan kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya (Mujamil Qomar, t.t.:20) Ali Maschan Moesa, (1999:60) mencatat: di Jawa disebut Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Teungku, di Sumatera/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.
Chozin Nasuha dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefudin Zuhri, (1999:264) Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari berbagai perspektif lainnya. Muhammad Tholchah Hasan, (1997:20) melihat kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasi. Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri (Mujamil Qomar, t.t:20)
C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Salaf
1. Sorogan
Sistem dan pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim (Djaelani, 1980:54).
Metode sorogan merupakan sistem metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping aplikasi metode ini membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif dan efesien (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
2. Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku – buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkan.mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang kata–kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorentasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri–santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang bagi sanrti untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran melalui wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menengah (Menurut Mujamil Qomar, t.t.:143).
Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal (Husein Muhammad, 1999:281) Akan tetapi, bukan berarti metode sorogani dan bandongan tidak memiliki kelebihan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai kelebihannya.
Ismail SM, (2002:54) merasakan bahwa metode sorogan secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai/ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai/ustadz.
Kedua metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuesi logis dari layanan yang sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini dilakukan justru mengarah pada layanan secara individual kepada peserta didik. Metode sorogan justeru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Adapun dalam bandongan, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.
Dalam dunia pesantren, santri yang cerdas dan memiliki kelebihan, dan mendapat perhatian istimewa dan didorong secara pribadi oleh kiai secukupnya. Semua santri mendapat perhatian yang seksama dari kiai. Tingkah laku moralnya secara teliti diperhatikan. Santri diperlakukan sebagai makhluk terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada santri ditanamkan perasaan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup, dan mengamalkan ilmu merupakan kewajiban dan ibadah. Kepandaian berpidato dan berdebat dikembangkan untuk melatih daya kritis dan kreatif pada santri.
Untuk lebih mengembangkan pengetahuan para santri dan sebagai evaluasi keberhasilan santri, maka santri yang dianggap sudah senior atau memiliki pengetahuan yang memadai diangkat oleh kiai sebagai badal (pengganti) jika kiainya berhalangan.
Di beberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santari-santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiainya”. Perbuatan seperti ini di dunia pesantren merupakan konsekuensi cerminan santri yang memiliki pengetahuan tinggi, dia harus memiliki etika dan akhlak yang lebih baik dari pada santri-santri yunior, karena mereka merupakan suri tauladan setelah kiai.
D. Penutup
Sebagai rangkaian akhir dari pembahasan makalah ini, penulis akan menyampaikan sebuah keyakinan kepada pembaca, bahwa pesantren telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang telah banyak mencetak kader bangsa yang berilmu dan berakhlak mulia. Namun, saat ini ada sebuah gejala di masyarakat luas, yaitu gejala menjauhi pendidikan yang berbasis agama, semuanya berkiblat ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faham materialistik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, pesantren mulai ditinggalkan, dan yang kejar adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya cepat mendapatkan uang. Akibatnya, banyak sekarang orang pintar tapi miskin moral. Sudah saatnya masyarakat untuk kembali kepada moral dengan mempercayakan pendidikannya kepada dunia pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Bawani, Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.
Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,Jakarta: LP3ES.
Fathurrahman, Pupuh, 2000, Keunggulan Pendidikan Pesantren; Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abads XXI, Bandung: Tunas Nusantra.
Ghazali, Bahri, M., Dr., MA., 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu.
Hasan, Muhammad Tolhah. 1996. “Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional”, Santri, No. 03, Agustus.
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan bdan Perkembangan. Jakarta: LISK.
Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik dalam wacana Civil Society. Surabaya: LEPKISS.
Qomar, Mujamil, Prof., Dr., M.Ag., t.t., Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.
Sistem Pembelajaran di Pesantren dan Kontribusinya pada Sekolah atau Madrasah Eelit
A. Pendahuluan
Proses
pendidikan sejak dini, baik secara formal, informal, maupun non-formal, menjadi
tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat.
Adapun karakter kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral sese-orang, seperti
kejujuran, kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain,
serta ketegaran untuk menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan
(Hidayat, 2008:184).
Karakter
bangsa yang kuat bisa diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan tidak
hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga
pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan. Untuk mewu-judkan hal
itu, maka diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan
akademik dan keunggulan nonakademik (termasuk keunggulan spiritual).
Sekolah
formal (sekolah/madrasah) lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor
kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang ber-sifat
spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal
memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan
inte-lektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran akademik.
Sementara
itu, pondok pesantren menjadi salah satu pilihan lembaga pendi-dikan yang
mengutamakan upaya pencerdasan spiritual. Pada perkembangannya pesantren menjadi
salah satu sistem pendidikan yang mendapatkan perhatian, baik dari masyarakat
umum maupun dari pemerintah. Konsep asrama dan belajar se-panjang waktu yang
dikembangkan di pesantren diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan sekolah/madrasah
di Indonesia.
B. Sistem Pembelajaran
di Pesantren
Pendidikan pesantren memiliki dua
sistem pembelajaran, yaitu; sorogan
dan bandongan.
Sorogan yang sering disebut sistem individual, dan bandongan atau wetonan yang sering
disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan
tersebut, setiap siswa mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari
kiai atau pemban-tu kiai (ustadz dan mustahik). Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada siswa-siswa yang belajar membaca Qur’an. Metode ini
merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari siswa. Sistem sorogan juga digunakan
di pondok pesantren pada umumnya tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang
memerlukan bantuan individual.
Metode utama pembelajaran di
lingkungan pesantren ialah sistem bandong-an
atau wetonan.
Kegiatan pembelajaran ini, dilakukan dalam format diskusi, diawal dengan
mereviu kembali materi pelajaran sebelumnya yang disampaikan oleh rois masing-masing fak
ilmu, atau rosi
am.
Dilanjutkan dengan siswa men-dengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab (kitab
kuning). Kelompok kelas dari sistem bando-ngan
ini disebut halaqah
yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Sisi lain, pesantren melakukan
kegiatan pembelajaran sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu
kawasan dengan kiai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjadi
antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berja-lan intensif. Dengan
demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam
hari (Daulay, 2001: 36). Sistem pendidikan ini, membawa banyak keuntungan
antara lain; pertama
pengasuh mampu melakukan pemantau-an secara leluasa setiap saat terhadap
perilaku santri baik terkait dengan pengem-bangan intelektual maupun
kepribadian. Kedua, adanya
proses pembelajaran dengan frekuensi tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang
telah diterimanya. Ketiga,
adanya proses pembiasaan akhlak, interaksinya setiap saat; baik
sesama santri, santri dengan ustad, maupun santri dengan kiai. Hal ini
merupakan kesem-patan terbaik untuk membiasakan percakapan bahasa Arab maupun
bahasa Ing-gris. Keempat, adanya
integrasi antara proses
pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari (Qomar, tt: 65). Bahwa sistem
pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik. Para pengasuh memandang
kegiatan pembelajaran merupa-kan kesatuan paduan atau lebur dalam totalitas
kegiatan hidup sehari-hari (Mastuhu, 1994: 58).
Sistem pendidikan pesantren menganut
konsep pendidikan yang pernah dijalankan oleh nabi. Nabi Muhammad menjadi
teladan bagi umat manusia, sementara itu para kiai pewaris para Nabi (al-‘ulama warasat al-anbiya). Maka
para kiai menjadi tauladan bagi umat Islam, terlebih lagi di pesantren para
kiai menjadi tauladan para santri-santrinya.
Seiring berjalannya waktu pesantren sedikit banyak
telah melakukan pem-benahan dan perubahan. Pesantren sekarang ini dapat
dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren salaf dan pesantren khalaf. Sistem
pendidikan pesantren salaf, tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan di pesantren (misalnya: Pon. Pes. Hidayatul
Mubtadien Lirboyo Kediri, Pon. Pes. Subersari Kepung Kediri dan lainnya).
Pondok pesantren khalaf merupakan sistem pendidikan yang berusaha
mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah/madrasah
formal (Pon. Pes. HM. Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri, Pon. Pes. Daru Ulil Albab
Nganjuk, dan lain sebagainya).
Tujuan dari perubahan pondok pesantren adalah
berusaha untuk menyem-purnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren.
Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru
dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan.
Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren khalaf termasuk: mulai akrab
dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar
dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan
luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (misalnya
Pon. Pes. Kepanjen Pati Jawa Tengah).
C. Gambaran
Sekolah/Madrasah Elit di Indonesia
Istilah
sekolah/madrasah digunakan secara sama dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003, istilah ini dapat menunjukan lembaga pendidikan
di mana siswa melakukan kegiatan belajar dan guru meng-ajar. Sedangkan elite
sendiri dapat diartikan orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok;
kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (KBBI: v1.1).
Secara harfiyah, “sekolah/madrasah
elite” berarti sekolah/madrasah kecil, sekolah/madrasah yang jumlah siswanya
sedikit atau terbatas. Pembatasan jumlah siswa dengan mempergunakan kriteria
tertentu. Ada sekolah/madrasah elite yang hanya menerima siswa-siswa kaya, ada
sekolah/madrasah elite yang hanya mene-rima siswa-siswa cerdas, dan ada pula
sekolah/madrasah elite yang membatasi dengan tinggi badan paling tidak 170 cm,
dan lain sebagainnya (Buchori,
1995: 166).
Lebih lanjut Menurut Buchori (1995:
170), sekolah/madrasah elite memiliki ciri-ciri tertentu; pertama, sekolah/madrasah
ini terdapat pada tingkat menengah pertama dan atas. Jadi untuk kelompok umur
13-18 tahun. Kedua, sekolah/madra-sah
ini biasanya merupakan boarding
school, sekolah/madrasah dengan asrama. Selama masa pendidikan para siswa
harus tinggal di asrama. Jadi seperti pondok pesanteran tradisional. Ketiga, program
pendidikan bersifat menyeluruh (prehen-sive)
dan berimbang (balanced).
Keempat, kehidupan
pendidikan di sekolah/mad-rasah elite sangat ketat. Tidak jarang para siswa
harus bangun pagi jam empat dan belajar sampai malam jam sepuluh malam. Di negara-negara tertentu
seperti Jepang, Amerika Serikat, Inggris, terdapat lebih dari satu jenis
sekolah elite. Ada sekolah elite yang dirancang untuk melahirkan elite
intelektual, ada yang diran-cang untuk melahirkan elite sosial, ada yang
dirancang untuk melahirkan elite politik.
Pandangan penulis sekarang pun
masih ada sekolah/madrasah elite. Hanya saja wajahnya belum jelas benar, mana
yang dirancang untuk melahirkan elite sosial, mana yang dirancang untuk
melahirkan elite intelektual dan elite politik. Namun dalam penglihatan penulis
ada lembaga pendidikan elite dari dulu hingga sekarang masih eksis dalam melahirkan
elite-elite agamawan yaitu pesantren. Pada sekolah-sekolah/madrasah-madrasah
elite (pandangan penulis) umumnya enggan atau risi kalau disebut sebagai
demikian. Mereka menolak sebutan itu, mereka memandang diri mereka sebagai
“sekolah/madrasah biasa”.
Dari penjelasan tersebut maka
penulis mengagap ada beberapa sekolah/mad-rasah elit. Misalnya sekolah Al Azhar
Jakarta, SMA Taruna Magelang, Sekolah Pelita Harapan di Tangerang, KMI Podok
Pesantren Gontor, SMP dan SMA Pesantren Salafiyah Terpadu Arisalah Lirboyo
Kediri, SMP/MTs dan SMA/MA Pesantren Tambakberas Jombang, SMP/MTs dan SMA/MA
Pesantren Tebuireng Jombang, MAN Cendikia di Sepong Tangerang dan MAN Cendikia
Ambon, MTsN 2 Kediri, MAN 3 Kediri dan lainnya. Lembaga pendidikan ini akan
mela-hirkan elite; elite sosial, elite intelektual, elite politik dan elite
agamawan. Yang sudah pasti, di sekolah/madrasah ini program belajar para siswa
cukup berat. Siswa tidak bisa belajar secara santai.
D. Kontribusi
Pesantren pada Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan pesantren ketika
dinilai melalui parameter modernisasi selalu dipandang negatif karena terlalu
mempertahankan tradisi dan kurang tang-gap terhadap perubahan dan perkembangan
zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek tertentu yang secara jujur diakui
sebagai kelebihan pesantren.
Pesantren adalah sistem pendidikan
yang tumbuh dan berkembang dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous. Lembaga inilah yang dilirik kem-bali sebagai model dasar pengembangan
konsep pendidikan (baru) Indonesia (Yasmadi, 2002: 3). Pesantren dengan demikian mulai diperhatikan dari multi perpektif
sehingga tidak selalu dinilai negatif. Ada segi-segi kelemahan sistem
pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi ada juga
kelemahan-kele-mahan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan (Qomar, tt:
82).
Meskipun tidak ada pengakuan secara
ekplisit dari para pakar pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan
pesantren telah diadopsi ke dalam sistem Pendidikan Nasional. Gejala ini
terlihat jelas pada kemunculan’sekolah-sekolah unggulan’atau boarding school sejak
tiga dasawarsa terakhir (Rahim, 2001: 153). Sekarang ini sudah banyak
bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan ‘sistem pesantren’ meskipun
dibungkus dengan nama lain seperti boarding
school, sekolah internal atau lainnya (Maghfurin, 2002: 158). Jika boarding school (sekolah berasrama umum)
mengadopsi pendidikan pesantren secara diam-diam, maka Departemen Agama
mengembangkannya secara terbuka (Rahim, 2001: 154).
Pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2008 sedang menggalakkan program sekolah
berbasis pondok pesantren sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan sekaligus
mencerahkan anak bangsa. Kese-imbangan antara kecerdasan intelektual dan
kecerdasan spiritual anak bangsa multak dibutuhkan demi keberlangsungan masa
depan bangsa ini (Suhardi, 2012: 323).
Sistem pendidikan yang dinilai tepat
untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah sistem pendidikan unggulan yang
merupakan perpaduan antara dua sistem pendidikan yang telah dimiliki oleh
Indonesia saat ini, yaitu sistem pendidikan formal dan sistem pendidikan pondok
pesantren. Sistem pendidikan formal, dalam konteks penelitian ini adalah
Sekolah/madrasah, mewakili keunggulan akademik. Sistem pendidikan pondok pesantren
merupakan cerminan dari keunggulan spiri-tual. Apabila proses pembelajaran pada
pendidikan formal rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari, maka tidak
dengan pondok pesantren, pendidikan berbasis lokal ini proses pembelajarannya
berlangsung hingga 24 jam (Kemdiknas, 2011:1).
Pondok atau asrama meskipun dalam
batas tertentu ada perbedaan secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam
proses pembelajaran bila diberda-yakan secara optimal, sehingga menjadi
kecenderungan sekolah-sekolah/madrasah unggulan. Kehidupan pondok atau asrama
memberikan berbagai manfaat antara lain; interaksi antar siswa dengan guru bisa
berjalan secara intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan siswa,
pergesekan sesama siswa yang memiliki kepen-tingan yang sama dalam mencari
ilmu, menimbulkan stimulus/rangsangan belajar, dan memberikan kesempatan yang
baik bagi pembinaan sesuatu (Qomar, tt: 83). Pendidikan pondok pesantren dapat
membentuk peserta didik yang berjiwa reli-gius, akhlakul hasanah, disiplin,
sederhana, menghormati orang yang lebih tua, dan memahami filosofis kehidupan
(Suhardi, 2012: 316).
Hanya saja, motivasi pembangunan
pondok bagi pesantren dan asrama bagi sekolah/madrasah unggulan cukup berbeda.
Menurut akar sejarahnya, pondok dibangun agar santri tidak jauh-jauh menempuh
perjalanan untuk belajar ada kiai atau agar santri bisa menginap didekat kiai.
Sedangkan asrama dibangun oleh sekolah/madrasah ungulan untuk mengefektifkan
proses pembelajaran, sehingga menyangkut berbagai kompone yang terkait. Dengan
pengertian lain, jika pondok dibangun lantaran darurat, maka asrama dibangun
atas dasar perencanaan pembelajaran yang matang dengan memenuhi kriteria
efektifitas dan efesiensi (Qomar, tt: 83).
Dengan sistem 24 jam atau sistem
sepanjang hari (full-day
eduactinal system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran
para orang tua lantaran kesibukanya tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk
memberikan perhati-an dan kontrol kepada putra-putrinya setelah pulang dari
sekolah/madrasah (Maghfuri, 2002: 159). Dari sudut pertimbangan ini sistem
pendidikan pesantren lebih dipercaya orang tua dari pada sistem pendidikan
formal terutama bagi orang tua karir yang memiliki komitmen tinggi untuk
menanamkan akhlak pada putra-putrinya. Pesantren dinilai mampu membentengi para
santri dari pengaruh-pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadirkan budaya
Barat (Qomar, tt: 84). Jika pendidikan formal mampu membentuk peserta didik
yang bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, bekerja keras, percaya diri,
berjiwa wirausaha, ber-pikir cakap (logis, kritis, kreatif, dan inovatif),
mandiri, rasa ingin tahu, cinta ilmu, sadar hak dan kewajiban, patuh pada
aturan sosial, menghargai karya orang lain, sopan-santun, demokratis, cinta
lingkungan, nasionalis, menghargai keberagaman, pendidikan pondok pesantren
dapat membentuk peserta didik yang berjiwa reli-gius, akhlakul hasanah,
disiplin, sederhana, menghormati orang yang lebih tua, dan memahami filosofis
kehidupan (Didik, 2012: 327).
Pesantren masih survive dan mampu
beradaptasi dengan modernitas pendi-dikan. Bahkan pendidikan yang cenderung
sekuler dinilai gagal, pesantren ditujuk sebagai lembaga pendidikan alternatif
(Mukti, 2002: 134). Kegagalan pendidikan sekuler dilihat dari pembentukan
kepribadian. Di kota-kota besa seperti Jakarta hampir setiap siang terjadi
tawuran antara siswa. Tradisi ini unik sekali mengingat pelajar adalah kelompok
yang sedang menjalani pendidikan, sedangkan tawuran bertentang dengan
pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan pelajar tersebut, santri pesantren tidak
penah tawuran sesama santri dari pesantren lain meskipun di Jakarta.
Pada dasarnya pendidikan pesantren
dinilai sukses. Ada kencenderungan orang tua di kota-kota besar yang
mengirimkan anaknya kepesantren, kendati di pesantren mereka belum tentu juga mengalami
kesadaran sepenuhnya. Sementara itu, pesantren sudah terbiasa membimbing
anak-anak yang ‘bermasalah’. Secara umum pesantren masih diyakini potensinya
membimbing mendidik, dan memba-ngun kepribadian para santri untuk menjadi orang
Muslim yang benar-benar saleh dan salehah yang memiliki ketahanan cukup kuat
dalam menghadapi tantangn dunia global.
E. Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga independen
dalam melakukan penataan terhadap sistem pendidikan yang dikembangkannya
memiliki bentuk yang unik. Banyak keunggulan yang dimiliki dari sistem
pendidikan yang ada di pesantren, yang dapat membuat beberapa lembaga
pendidikan untuk mengadopsinya. Suatu hal yang menarik dalam kontek ini dengan
adanya pondok atau asrama.
Pada dasawarsa terakhir banyak
bermunculan sekolah/madrasah elite (seko-lah/madrasah terpilih) yang memiliki
kesamaan pola dengan pesantren, maka dalam hal ini penulis menganggap pesantren
memberikan kontribusi pada sekolah/madrasah elite. Elite secara harfiah atau
pun elite secara subtansial. Elite secara harfiah adalah pilihan, sekarang ini
masuk di sekolah/madrasah elite harus benar-benar anak yang terpilih baik
secara intelektual, mental, spiritual dan jas-mani, dalam artinya tidak semua
anak mampu bertahan di dalamnya. Sekolah/-madrasah elite secara subtasial,
karena merujuk dari pendapat Muchtar Buchori ciri sekolah/madrasah elite, dari
segi usia, asrama (pondok), terprogram, dan sistem yang ketat. Keempat komponen
tersebut melekat dan terdapat pada sistem pendidikan yang ada di banyak sekolah/madrasah
yang sering mengatas namakan dirinya sebagai sekolah/madrasah unggulan (kelas exselen).
Daftar Pustaka
Daulay, H. P.
(2001). Historisitas dan Eksisitensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yoyakarta:
PT. Tiara Wacana.
Dhofier, Z.
(2009). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai,
Jakarta: LP3ES.
Hidayat,
Komaruddin & Putut Widjanarko. 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan
Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: PT Mizan Publika.
Maghfurin, A.
(2002). “Pesantren: Model Pendidikan Alternatif Masa Depan”, dalam Ismail SM.,
Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta:
Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka pelajar.
Mastuhu. (1994).
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Mukti, A.
(2002). “Paradigma Pendidikan Pesantren; Ikhtiar Metodologi Menuju Minimalis
Kekerasan politik”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika
Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar.
Qomar, M. (tt). Pesantren:
Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,Jakarta: Erlangga.
Rahim, H.
(2001). Arah Baru Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Suhardi, D. (2012), Peran SMP Berbasis Pesantren
Sebagai Upaya Penanaman Pendidikan Karakter Kepada Generasi Bangsa. Jurnal
Pendidikan Karakter, 2(3): 316-328.
Yasmadi. (2002).
Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Majid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, Jakarta: Ciputat Perss.
METODE
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara
meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang. Dalam sejarah hidup umat
manusia dimuka bumi ini hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak
menggunakan pendidikan sebagai pembudayaan dan peningkatan kualitasnya,
sekalipun dalam kelompok masyarakat primitif.
Hanya sistem dan metodenya yang berbeda-beda sesuai taraf
hidup dan budaya masyarakat masing-masing. Di kalangan masyarakat yang
berbudaya modern, sistem dan metode pendidikan yang dipergunakan setaraf dengan
kebutuhan atau tuntutan aspirasinya. Sistem dan metode tersebut diorientasikan
kepada efektifitas dan efisiensi.
Metode penyajian atau penyampaian di pondok pesantren bersifat
tradisional menurut kebiasaan-kebiasaan yang lama dipergunakan dalam institusi
itu, seperti pengajian dengan balahan, weton dan sorogan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian sistem pendekatan
dalam pengajaran agama di pondok pesantren?
2. Bagaimana metode penyampaian dalam
pengajaran agama di pondok pesantren?
3. Bagaimana sistem pendekatan
metodologis di pondok pesantren?
4. Apakah prinsip umum dalam proses
belajar mengajar agama dalam pondok pesantren?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mendiskripsikan pengertian
sistem pendekatan dalam pengajaran agama di pondok pesantren.
2. Untuk mendiskripsikan metode
penyampaian dalam pengajaran agama di pondok pesantren.
3. Untuk mendiskripsikan sistem
pendekatan metodologis di pondok pesantren.
4. Untuk mendiskripsikan prinsip umum
dalam proses belajar dan mengajar agama di pondok pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pendekatan dalam
Pengajaran Agama di Pondok Pesantren.
Pengertian “sistem” bisa diberikan terhadap suatu perangkat
atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian dimana satu sama lain saling
berhubungan dan saling memperkuat.
Dengan demikian sistem adalah suatu sarana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan.
Pengertian lainnya yang umum dipahami dikalangan awam adalah
bahwa sistem (lebih tepat sistem) itu merupakan “cara” untuk mencapai tujuan
tertentu dimana dalam penggunaannya bergantung kepada pelbagai faktor yang erat
hubungannya dengan usaha pencapaian tujuan tersebut. Sistem dalam pengertian
ini lebih berdekatan dengan pengertian “metode”, sedang “metode” mula-mula
berasal dari kata “meta” berarti melalui dan “hodos” berarti
jalan. Jadi methode adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai satu tujuan.
Bila kita mempergunakan istilah “sistem pendidikan dan
pengajaran pondok pesantren” maka tak lain yang dimaksud adalah sarana yang
berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan
pengajaran yang berlangsung dalam pondok pesantren itu. Sedangkan bila kita
mempergunakan istilah “sistem (“susteem” dalam bahasa Belanda) pendekatan”
tentang metode pengajaran agama Islam di Indonesia, maka tak lain pengertiannya
adalah “cara pendekatan dan cara penyampaian ajaran agama Islam di Indonesia”
dimana scopenya yang luas, tidak hanya berbatas pada pondok pesantren, akan
tetapi mencakup lembaga-lembaga pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah
umum dan non formal seperti pondok pesantren.
B. Metode Penyampaian dalam Pengajaran
Agama di Pondok Pesantren.
Dalam metode penyampaiannya ada beberapa pondok salafiyah
yang masih menggunakan metode lama atau tradisional menurut kebiasaan-kebiasaan
yang lama dipergunakan dalam institusi itu, metode-metode tersebut antara lain:
1. Sorogan
Yaitu suatu sistem belajar secara individual dimana seorang
santri berhadapan dengan seorang guru, dengan sistem pengajaran secara sorogan
ini memungkinkan hubungan Kiai dengan Santri sangat dekat, sebab Kiai dapat
mengenal kemampuan pribadi santri secara satu persatu.
2. Bandungan
Sistem bandungan ini sering disebut dengan Halaqoh dimana
dalam pengajaran, kitab yang dibaca oleh Kiai hanya satu, sedang para santri
membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kiai.
3. Weton
Istilah weton berasal dari bahasa jawa yang diartikan
berkala atau berwaktu. Pengajian weton bukan merupakan pengajian rutin harian,
tapi dilaksanakan pada saat tertentu misalnya pada setiap selesai sholat Jum’at
dan sebagainya.
Adapun metode yang dapat dipergunakan dilingkungan pondok
pesantren antara lain, seperti tersebut di bawah ini dengan penyesuaian menurut
situasi dan kondisi masing-masing:
- Metode tanya jawab 10. Metode widya wisata
- Metode diskusi 11. Metode pemberian situasi
- Metode imlak 12. Metode problem solving
- Metode mutholaah/riatal 13. Metode pembiasaan
- Metode proyek 14. Metode dramatisasi
- Metode dialog 15. Metode reinforcement
- Metode karya wisata 16. Metode berdasarkan teori -
- Metode hafalan/verbalisme Connectionisme
- Metode sosiodrama 17. Metode dengan sistem modul
Macam-macam metode itu menjadi efektif dan tidaknya bagi
santri (anak didik) adalah banyak bergantung kepada pribadi pendidik
(guru/pengajar/ pengasuh) itu sendiri.
C. Sistem Pendekatan Metodologis di
Pondok Pesantren
Sistem pendekatan metodologis yang perlu mendapatkan
perhatian dari para pendidik juga di pondok pesantren adalah bilamana
didasarkan atas disiplin ilmu sosial sekurang-kurangnya meliputi:
1. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini tekanannya diutamakan pada dorongan yang
bersifat persuasif dan motivatif, yaitu suatu dorongan yang mampu menggerakkan
daya kognitif, konatif dan afektif.
2. Pendekatan Sosio-kultur
Pendekatan ini lebih ditekankan pada
usaha pengembangan sikap pribadi dan sosial sesuai dengan tuntutan masyarakat
yang berorientasi kepada kebutuhan hidup yang makin maju dalam berbudaya dan
berperadapan.
3. Pendekatan Religik
Yakni suatu pendekatan yang membawa keyakinan (aqidah) dan
keimanan dalam pribadi anak didik yang cenderung kearah komprehensif intensif
dan ekstensif (mendalam dan meluas).
4. Pendekatan Historis
Ditekankan pada usaha pengembangan pengetahuan, sikap dan
nilai keagamaan melalui proses kesejarahan.
5. Pendekatan Komparatif
Pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan suatu gejala
sosial keagamaan dengan hukum agama yang ditetapkan selaras dengan situasi dan
zamannya.
6. Pendekatan Filosofis
Yaitu pendekatan yang berdasarkan tinjauan falsafah.
Pendekatan demikian cenderung kepada usaha mencapai kebenaran dengan mamakai
akan atau rasio.
D. Prinsip-prinsip Umum dalam Proses
Belajar dan Mengajar Agama di Pondok Pesantren
Prinsip-prinsip umum belajar dan motifasi yang perlu
ditetapkan dalam pondok pesantren yaitu:
1. Prinsip Kebermaknaan
Prinsip ini menghendaki bahwa anak didik akan terdorong
untuk mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
2. Prinsip Prasyarat
Prinsip ini menuntut pendidik untuk menyadari bahwa anak
didik akan tergerak untuk mempelajari hal-hal baru bila ia memiliki semua
prasyarat yaitu mengaitkan pengetahuan yang dimiliki anak didik dengan yang
dimiliki oleh pendidik.
3. Prinsip-prinsip Model
Prinsip ini menghendaki agar pendidik memberikan dalam proses
belajar model/contoh yang dapat diamati atau ditiru oleh anak didik. Dengan
demikian, ia akan berusaha memiliki tingkah laku yang baru sebagai yang
diterapkan oleh pendidik dalam model/contoh tersebut.
4. Prinsip Komunikasi Terbuka
Prinsip tersebut menuntut agar pendidik mendorong anak didik
lebih banyak mempelajari sesuatu dengan cara penyajian yang disusun sedemikian
rupa sehingga pesan-pesan pendidik terbuka bagi anak didik.
5. Prinsip Kebaruan
Anak didik akan lebih banyak belajar bilamana
minat/perhatiannya tertarik oleh penyajian-penyajian yang relatif baru.
6. Prinsip Praktek Aktif
Prinsip praktek akrif yaitu anak akan dapat belajar lebih
baik bilamana ia diikutsertakan dalam praktek.
7. Prinsip Praktek Terbuka
Anak didik akan belajar lebih baik dan giat bilamana
pelajaran praktek tersebut disusun dalam periode yang singkat yang
didistribusikan dalam jangka waktu tertentu.
8. Prinsip Mengurangi Petunjuk
Seorang anak didik akan lebih baik dalam belajarnya bilamana
instruksi (perintah) atau petunjuk semakin dikurangi dan dihapuskan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
metode dan sistem pendidikan pada pondok pesantren itu tidak hanya berkutik
pada metode-metode tradisional saja, akan tetapi pendidikan di pondok pesantren
juga telah menggunakan berbagai metode-metode yang disesuaikan dengan situasi
dan kondisi lembaga pendidikan tersebut, dengan demikian pendidikan pondok
pesantren tidak lagi dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang kuno,
bahkan pendidikan yang telah berkembang pada saat ini banyak yang menggunakan
sistem yang digunakan dalam pondok pesantren.
0 komentar:
Posting Komentar