KODIFIKASI AL-QUR’AN
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ke-Al Qur’anan
Dosen
Pengampu : M. Soffan Rizki Alh.S.Pd.I
Disusun Oleh:
1.
Nani Marlina (0610300755201130004)
2.
Febri Nugroho (0610300755201130005)
3.
Mahsusotun Nafisah (0610300755201130006)
4.
Nur Aminatul Hidayah (0610300755201130007)
5.
Bagyo (0610300755201130129)
Kelas : TI.01/02
PORGRAM
STUDI TEKNIK INFORMATIKA ( TI )
FAKULTAS
TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER ( FASTIKOM )
UNIVERSITAS
SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA
TENGAH DI WONOSOBO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim,
Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang
sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung
petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di
dunia maupun akhirat.
Mushaf
Al-Qur’an yang ada di tangan kita
sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama
kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang
sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al-Qur’an
langsung diberikan oleh Allah SWT yang
termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr (15):9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Alquran), dan
kamilah yang akan menjaganya"
Makalah ini akan menguraikan
tentang sejarah kodifikasi Al-Qur’an dari
masa Rasulullah hingga masa khalifah Utsman bin Affan.
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Al-Qur’an kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghafal Al-Qur’an dan karena turunnya Al-Qur’an memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani.
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Al-Qur’an kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghafal Al-Qur’an dan karena turunnya Al-Qur’an memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian kodifikasi atau jam’ul Al-Qur’an ?
2. Bagaimana pemeliharaan
dan pengumpulan Al-Qur’an hingga
dibukukan?
3. Bagaimana
sejarah kodifkasi Al-Qur’an ?
C.
Tujuan
1. Agar
kita mengetahui apa itu kodifikasi atau jam’ul Al-Qur’an .
2. Agar
kita mengetahui pemeliharaan dan
pengumpulan Al-Qur’an hingga dibukukan.
3. Agar
kita mengetahui sejarah kodifkasi Al-Qur’an .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kodifikasi atau Jam’ul Al-Qur’an
Istilah jam’ul biasa di terjemahkan
kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan Al-Qur’an . Namun, pengertiannya
diperselisihkan para ulama. Misalnya Ibn Hajar, membatasi pengertiannya pada
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat
pada kepingan batu dan pelepah kurma atau bahan lainnya kedalam shuhuf-shuhuf
yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit pada masa abu bakar serta pengumpulan shuhuf-shuhuf tersebut
dalam satu mushaf yang dilakukan pada masa khalifah utsman.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ul Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah salah
satu dari dua pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman
Allah kepada Nabi, Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya
untuk memebaca Al-Qur’an ketikaAl-Qur’an
itu turun kepadanya sebelum jibril
selesai membacakannya, karena ingin menhafalnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Qiyamah 16-19 :
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ o ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur o #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè%O §NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/O
“ janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532].
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah penjelasannya.
[1532]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril
a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar
dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang
diturunkan itu.”
Kedua : pengumpulan dalam
arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an
semuanya) baik dalam memisah-misahkan
ayat-ayat dan surah-surahnya, atau mnertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah
di tulis dalam satulembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkeumpul yang menhimpun semua
surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
B.
Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an Hingga Dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu
kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat
Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya,
selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan
manusia[[1]] . Kumpulan
firman (ayat-ayat Al-Qur’an ) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau
kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui
proses panjang. Mulai dari ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir
turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara
ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus
dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal
ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga
menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat
Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan
Nabi[[2]].
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan naskah-naskah
yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, naskah-naskah yang ditulis oleh
mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta hafalan
dari mereka yang hafal Al-Qur’an[[3]].
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh
Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang
memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diturunkan. Nabi sendiri sering
mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu
disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan
bacaan mereka jika ada yang salah [[4]].
Tentang
penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif
mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang
turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa
sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan
oleh Allah kepada Muhammad[[5]]
yaitu:
1.
Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen.
2.
Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari
kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.
3.
‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung
dahan pohon kurma yang tipis.
4.
Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari
tulang belikat unta.
5.
Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari
tulang rusuk unta.
6.
Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang
asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas,
salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan
sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya
berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer
dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang
dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf
sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer.
Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf
Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn
Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah
binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu
Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf
Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi
mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara
mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf
Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid,
Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf
Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf
Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq[[6]].
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata
selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda
begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan
mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah
seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam
al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi,
Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang
akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar
al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan
di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat
perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang
hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat
yang tidak ada dalam al-Itqan. Contoh lain
dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal yang secara rinci memperlihatkan data-data
dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan
yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman
bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan
latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan
dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf.
Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat
penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut,
Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun
pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu
dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an . Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan
pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
C. Sejarah Kodifkasi Al-Qur’an
1. Pada Masa
Rasulallah
Pengumpulan
Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW
ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para
sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima
wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur
(budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka
diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat
masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al
Jam'u fis Suthur
Yaitu
wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun
sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun
waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu
kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh
mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis
beliau karena khawatir akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda
"Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Alquran, barangsiapa yang
menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka
hendaklah ia menghapusnya
Biasanya
sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media
yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf
(lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (pelepah kurma).
Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang.
Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w.
adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang
bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah
s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari
kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip)
yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal
adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit
dan Salin bin Ma'qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah
terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang
membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah
musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an
kewilayah musuh, karena aku merasa tidak
aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah
masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah
bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah
sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian
`Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia
mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam. Sepanjang hidup Rasulullah
s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana
beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an diturunkan
tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
2.
Pada Masa
Abu Bakar Asyidik
Sepeninggal
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Alquran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran yaitu
pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat
masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi
pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:
"Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban
pada perang Yamamah, ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :
"Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada
perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Alquran,
aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak
akan ada lagi sahabat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya engkau wahai
khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Alquran, lalu aku berkata kepada Umar
: "bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah s.a.w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah
sebuah kebaikan".
Selanjutnya
Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan
hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid
berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang
cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu
(Alquran) untuk Rasulullah s.a.w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an
lalu kumpulkanlah menjadi sebuah
mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andaikata mereka
memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku
dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Alquran. Kemudian aku teliti Al-Qur’an
dan mengumpulkannya dari pelepah kurma,
lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain".
Kemudian
Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah
sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh
putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar
r.a.
Semua
sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang
telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat
membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali
bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan
: "Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia
mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Alquran,
selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf).
Menurut
riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil
pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami
untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan di bundel sebagai “MUSHAF"
dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan
naskah-naskah Al-Qur’an yang telah
dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an
sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya
Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah
(98):2 "Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran
suci. (Alquran)".
3.
Pada Masa
Umar bin Khatab.
Tidak
ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain
melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi
untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an
pada wilayah-wilayah daulah islamiyah
baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas
serta kapasitas ke-Alquranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah
Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.
4.
Pada Masa
Untsman bin Affan.
Pada
masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar
Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa
arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Alquran, karena bahasa asli
mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas
oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim
yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa
suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah
Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan
(dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas
realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata
: "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara
bacaan Alquran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga
menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".
Lalu
Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh
panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para
sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al 'Ash,
Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain. Kodifikasi dan penyalinan kembali
Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun
25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu
pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa
mereka. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan
lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap
naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an selain
Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf
hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah,
Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah
yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin
dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam
sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang
sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan
Alquran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk
menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl
(tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi Al-Qur’an
ini, poin penting sebagai jawaban atas
permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1. Istilah
jam’ul biasa di terjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan Al-Qur’an
.
Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’ul Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah
salah satu dari dua pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati).
Kedua
: pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dalam memisah-misahkan
ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap
surah di tulis dalam satulembaran secara terpisah, ataupun menertibkan
ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkeumpul yang
menhimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah baigain yang lain.
2. Pengkodifikasian dan penulisan Al-Qur’an
pada masa Nabi saw terkumpul dalam
hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar,
di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang
terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut
ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua
hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan
dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut
dengan Mushhaf Imam.
3. Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Al-Qur’an pada masa Utsman merupakan masa pembentukan
naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam
pembacaannya.
B.
Kritik dan
Saran
Kita sebagai umat Islam seharusnnya lebih giat untuk
membaca dan mengamalkan isi ajaran yang terkandung didalam Al-Qur’an .
Sebagaimana para sahabat nabi yang telah berupaya mengumpulkan, menuliskan,
serta merapihkan susunan isi Al-Qur’an namun tidak merubah satu kata pun isi ketika
awal turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Apalagi sampai kita belajar lebih
dalam lagi untuk mempelajarinya. Karena sekarang sudah ada studi yang khusus
mempelajari Al-Qur’an yaitu Ulumul
Qur’an (Ilmu Al-Qur’an ).
Demikianlah Penyusunan
makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup.
Bahwa
pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis
ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang
sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam
Pengkajian Islam serta teman-teman
peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah
permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat
kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar
Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia.
Mudzakir. 2011. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta : PT.
Mitra Kerjaya Indonesia .
Mawardi, Abdullah. 2011. Ulumul
Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Haris, Mubarak Abdul.
Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan
Al-Qur'an.html. Sabtu, 08 September 2012.
[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
[2]. H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an , Cet I;
Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55
[3]. Departemen Agama Republik
Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra;
Semarang. 2002. h. 19
[5]. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an , Cet. I;
Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h. 151
0 komentar:
Posting Komentar