Pages

Senin, 08 Juni 2015



KODIFIKASI AL-QUR’AN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ke-Al Qur’anan
Dosen Pengampu : M. Soffan Rizki Alh.S.Pd.I










Disusun Oleh:
1.        Nani Marlina                 (0610300755201130004)
2.        Febri Nugroho              (0610300755201130005)
3.        Mahsusotun Nafisah     (0610300755201130006)
4.        Nur Aminatul Hidayah (0610300755201130007)
5.        Bagyo                             (0610300755201130129)
Kelas : TI.01/02


PORGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA ( TI )
FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER ( FASTIKOM )
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN  (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an  adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an  merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Mushaf Al-Qur’an  yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al-Qur’an  langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr (15):9: 
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
   "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Alquran), dan kamilah yang akan menjaganya"
Makalah ini akan  menguraikan tentang sejarah kodifikasi Al-Qur’an  dari masa Rasulullah hingga masa khalifah Utsman bin Affan.
     Usaha pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an  telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Al-Qur’an  dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Al-Qur’an  kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf  Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf  Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghafal Al-Qur’an  dan karena turunnya Al-Qur’an  memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf  Utsmani.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kodifikasi atau jam’ul Al-Qur’an ?
2.      Bagaimana pemeliharaan dan pengumpulan Al-Qur’an  hingga dibukukan?
3.      Bagaimana sejarah kodifkasi Al-Qur’an ?
C.    Tujuan
1.      Agar kita mengetahui apa itu kodifikasi atau jam’ul Al-Qur’an .
2.      Agar kita mengetahui pemeliharaan dan pengumpulan Al-Qur’an  hingga dibukukan.
3.      Agar kita mengetahui sejarah kodifkasi Al-Qur’an .






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kodifikasi atau Jam’ul Al-Qur’an
Istilah jam’ul biasa di terjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan Al-Qur’an . Namun, pengertiannya diperselisihkan para ulama. Misalnya Ibn Hajar, membatasi pengertiannya pada pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an  yang terdapat pada kepingan batu dan pelepah kurma atau bahan lainnya kedalam shuhuf-shuhuf yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit pada masa abu bakar  serta pengumpulan shuhuf-shuhuf tersebut dalam satu mushaf yang dilakukan pada masa khalifah utsman.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an  (Jam’ul Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi, Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk memebaca Al-Qur’an  ketikaAl-Qur’an  itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menhafalnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Qiyamah 16-19 :
Ÿw õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 Ÿ@yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ o ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur o #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè%O §NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/O  
“ janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532]. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
[1532] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.”
Kedua : pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an  semuanya) baik dalam memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau mnertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satulembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkeumpul yang menhimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
B.     Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an  Hingga Dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia[[1]] . Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an ) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an  hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an  adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi[[2]].
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an  pada masa Nabi dilakukan dengan naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an[[3]].
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an  dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah [[4]].
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad[[5]] yaitu:
1.      Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen.
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut  adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq[[6]].
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan. Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an  karya Taufik Adnan Amal  yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an . Al-Qur’an  yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
C.    Sejarah Kodifkasi Al-Qur’an
1.    Pada Masa Rasulallah
Pengumpulan Al-Qur’an  pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
       Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
       Kedua : al Jam'u fis Suthur 
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Alquran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an  maka hendaklah ia menghapusnya 
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an  pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an  telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an  ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an  kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al-Qur’an  tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam. Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Al-Qur’an  selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an  diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
2.    Pada Masa Abu Bakar Asyidik
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Alquran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an  yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an  yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: "Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah, ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata : "Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Alquran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an  di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Alquran, lalu aku berkata kepada Umar : "bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Alquran) untuk Rasulullah s.a.w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an  lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Alquran. Kemudian aku teliti Al-Qur’an  dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain".
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an  menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Alquran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an  sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an  sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an  yang dikumpulkan dan di bundel sebagai “MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an  yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an  sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 "Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Alquran)".
3.    Pada Masa Umar bin Khatab.
Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an  yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an  pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Alquranan-nya bisa dipertanggungjawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.
4.    Pada Masa Untsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Alquran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al-Qur’an  yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Alquran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al 'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain. Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an  ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an  selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Alquran. Adapun Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi Al-Qur’an  ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1.    Istilah jam’ul biasa di terjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan Al-Qur’an .
Pengumpulan Al-Qur’an  (Jam’ul Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati).
Kedua : pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an  semuanya) baik dalam memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satulembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkeumpul yang menhimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah baigain yang lain.
2.    Pengkodifikasian dan penulisan Al-Qur’an  pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
3.    Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Al-Qur’an  pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.

B.     Kritik dan Saran
Kita sebagai umat Islam seharusnnya lebih giat untuk membaca dan mengamalkan isi ajaran yang terkandung didalam Al-Qur’an . Sebagaimana para sahabat nabi yang telah berupaya mengumpulkan, menuliskan, serta merapihkan susunan isi Al-Qur’an  namun tidak merubah satu kata pun isi ketika awal turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Apalagi sampai kita belajar lebih dalam lagi untuk mempelajarinya. Karena sekarang sudah ada studi yang khusus mempelajari Al-Qur’an  yaitu Ulumul Qur’an (Ilmu Al-Qur’an ).

Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup.
Bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam  serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.








DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia.
Mudzakir. 2011. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta  : PT. Mitra Kerjaya Indonesia .
Mawardi, Abdullah. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Haris, Mubarak Abdul.  Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur'an.html. Sabtu, 08 September 2012.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/kodifikasi-alquran.html


[1].  http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
[2]. H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an , Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55
[3]. Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an  dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19
[4]. Ibid, h. 20
[5]. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an , Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h. 151
[6]. Taufik Adnan Amal, Op Cit, h. 158-159

0 komentar:

Posting Komentar