Pages

Sabtu, 13 Juni 2015

Pola Pembelajaran di Pesantren



Pola Pembelajaran di Pesantren

Judul Buku               :pola pembelajaran di pesantren
Nama Penulis           :Drs. Maksum, MA
Tahun Terbit            :2003
Tebal Buku               :134 Halaman
Di terbitkan              : oleh jendral kelembagaan Agama Islam

BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Sejarah kemunculan pesantren
                Pesantern merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kyai atau usdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama(pondok untuk mengaji dan membahas buku-buku teks ke agamaan karya ulama masa lalu.
Jauh sebelum masa kemerdekaan: pesantren telah menjadi sistem pendidikan nusantara, hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan isalam telah terdapat lembaga  pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda seperti meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan pedsantren di jawa. Namun demikian, secara historis awal kemunculan dan asal usul semua itu masih kabur.

            Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang di selenggarakan orang-orang hindu dan Budha Sebagaimana di ketahui. Sewaktu islam dating dan berkembang di pulau jawa telah dan lembaga perguruan hindu dan budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pembelajaran seperti ini kemudian menjadi contoh sebagai pembelajaran para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran islam. Kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk system biara dan asrama dengan mengubah isinya dengan pengajaran agama islam yang kemudian di kenal sebagai pondok pesantern. Sejalan dengan ini pesantern lahir semenjak masa awal kedatangan islam di jawa, masa Wali Songo. Di duga kuat bahwa pesantren pertama kali didirikan di desa Gapura Gresik Jawa Timur dan di hubungkan dengan usaha Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Ampel)
                    Istilah pesantern  itu sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari istilah bahasa Arab, melainkan Dari India. Demikian juga istilah pondok langgar, surau di Minaangkabau dan Rangkang di Aceh.pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Selesai shalat berjamaah sang kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sederhan. Isinya pengajian biasanya berkisar pada rukun iman, rukun islam serta akhlaq lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari berkat caranya yang menarik dan ke ikhlasannya yang tinggi serta prilakunya yang shaleh, lama kelamaan jamaahnya bertaambah banyak.
            Dalam sejarah perkembangannya, fungsi pondok pesantren adalah mencetak ulam dan ahli agama, hingga dewasa ini fungsi poko itu tetap terpelihara dan di pertahankan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, seiring dengan kegiatan dan pengajaran agam beberapa pesantren telah melakukan pembaharuan dengan mengembangkan komponen-komponen pendidikan lainnya. Seperti di tambahkannya system sekolah. Adanya pendidikan kesenian, pendidikan bahasa asing ( Arab dan Inggris), pendidikan jasmani serta pendidikan keterampilan.











BAB II
METODE DAN PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN
1.      Metode Pembelajaran
Secara atimologis metode berasal dari kata”met”dan”hodes” yang berarti melalui. Sedangkan secara istilah metode adalah jalan atau cara yang harus di tempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan pembelajaran berarti kegiatan belajar mengajar yang interaktif yang terjadi antara santri sebagai peserta didik(muta’alim) dan kyai atau ustadz di pesantren sebagai pendidik(mua’lim) yang diatur berdasar kurikulum yang telah di susun dalam rangka mencapai tujuan. Jadi metode pembelajaran adalah cara-cara yang mesti ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar antara santri dan kyai untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Metode pembelajaran di pesantren ada yang besifat trdisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama di pergunakan pada institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli(original) pesantren.
Metode pembelajaran yang bersifat baru( modrn,tajdid)  merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern.
A.Metode Sorogan
1.      Pengertian
Metode sorogan merupakan kaegiatan pembelajaran bagi para santri yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan(individu), di bawah bimbingan ustadz atau kyai.
2.      Teknik Pembelajaran
Pengajian dengan  sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek unik meletakan kitab bagi santri yang menghadap.
Pelaksanaannya dapat di gambarkan sebagai berikut:
1.      Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak di aji.
2.      Seorang santri yang mendapatkan giliran menghadap langsung secara tatap muka kepada gurunya.ia membuka bgian yang akan di aji dan meletakannya di atas meja yang telah tersedia di depan kyai atau ustadz,
3.      Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan dan kemudian memberikan artinya dengan menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.
4.      Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kyai atau ustadz dan mencocokannya dengan kitab yang dibawanya.
5.      Santri kemudian menirukan kembali apa yang di bacakan kyai atau ustadz secara sama.
6.      Kyai atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang di baca sntrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya.
Meteode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh dirinya di hadapan kyai atau ustadznya.
1.   Tahap Persiapan
Ada beberapa hal yang di persiapkan sebelumnya oleh kyai/ustadz maupun oleh santri, yaiti:
a)      Penyusunan kurikulum yang berisi jenis materi(tafsir,fiqh, dan sebagainya). Pada setiap tingkatan dengan berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi bacaan/peganhannya.
b)      Santri dengan bimbingan ustadz yang akan di pelajarinya.
c)      Pendataan nama-nama santri yang berada dibawah bimbingan seorang ustadz. Hal ini dilakukan untuk mendata tingkat aktivitas dan perkembangan kemampuan santri untuk waktu berikutnya,
d)     Santri menyiapkan kitab yang akan dipelajarinya beserta alat alat tulis yang meliputi pena/pulpen serta buku tulis yang berfungsi untuk mencatat hal-hal penting.
2.   Tahapan Pelaksanaaan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a)      Menciptakan situasi dan kondisi yang komunikatif antara santri dan guru dalam kegiatan pembelajaran.
b)      Dalam membaca dan menerjemahkan teks Arab gundul seorang ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan bahasa yang mudah untuk difahami oleh santrinya.
c)      Setelah membacakan dan menerjemahkan satu alinea atau satu topic tertentu sesuai keinginan dan pertimbangan ustadz,santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah di baca tadi dengan pembetulan apabila ada kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya.
d)     Setelah membaca dan menerjemahkan dengan benar, seorang ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri tadi untuk menjelaskan maksud dari yang telah dibaca tadi, ini dilakukan untuk melatih daya tangkap(pemahaman) santri terhadap teks.
e)      Setelah santri menjelaskan, ustadz mengulas apa yang telah dijelaskan oleh santri tadi serta menambahkan atau membetulkan apabila penyampain santri ada hal-hal yang kurang atau keliru
Metode sorogan dipergunakan untuk pembelajaran kepada santri khusus yang memiliki kemampuan untuk dididik menjadi ustadz,kegiatannya dailakukan melalui:
a)      Santri diminta untuk membaca teks kitab yang dipilihnya dengan mengurangi penggunaan harakat/syakal.
b)      Kepada para santri diminta juga untuk tidak member catatan pada teks kitab yang dibacanya dengan simbol-simbol(tanda-tanda) seperti utawi,iki,iku, dan lain-lain.
c)      Kepada santri diminta untuk menjelaskan isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar.


3.      Evaluasi
Evaluasi adalah cara penilaian yang dilakukan oleh seorang ustadz untuk mengetahui kemampuan santri dalam asfek pengetahuan(kognisi) aspek sikap(afeksi) dan asfek keterampilan (skill) terhadap materi pembelajaran yang telah diberikannya.
Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam pembelajaran dengan menggunakan metode sorogan biasanya dilakukan kegiatan sebagai berikut:
a)      Santri disuruh membaca dan menerjemahkan teks yang telah disampaikan oleh ustadz pada pertemuan yang lalu. Jika seorang santri berhasil membaca dan menerjemahlan dengan baik, maka pelajaran yang baru dapat diberikan. Akan tetapi jika sebaliknya maka santri tadi diharuskan untuk mempelajari kembali (mengulang).
b)      Jika materi pembelajaran yang di pelajari dalam tatap muka yang telah dianggap telah dikuasai dengan baik oleh santri tersebut kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan materi baru tanpa terlebih dahulu meminta santri untuk membaca dan menerjemahkan teks yang dipelajari dalam pertemuan yang lalu.
c)      Penilaian dapat juga dilakukan pada saat seorang santri disuruh untuk membaca dan menterjemahkan teks Arab gundul setelah dibacakan dan diterjemahkan oleh ustadz.
Hal-hal yang biasanya di perhatiakan  dalam menilai tingkat kemampuan para santri dengan menggunakan metode sorogan adalah :
a)      Pembacaaan yang dilakukan oleh seorang santri apakah suadah benar dalam arti sesuai dengan aturan dab tata bahasa Arab baik pada tingkatan kata(sharaf) maupun pada tingkatan kedudukan suatu kata struktur kalimat(nahwu) atau masih belum sesuai.
b)      Santri mampu menunjukan kedudukan suatu kata dengan menggunakan ucapan simbolilk tertentu melalui pola terjemahan kata demi kata disertai pelapalan symbol atau tanda oleh santri.
c)      Pemahaman terhadap teks yang telah dibaca dalam bentuk uraian penjelasan atau kandungan teks setelah seorang santri menyeselaikan pembacaan sekian kalimat atau sekian paragraph.


A.    Metode Bandongan
1.      Pengertian
Metode bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Pada metode ini berbeda dengan metode sorogan. Metode ini dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab.
2.      Teknik Pembelajaran
Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode bandongan, seorang kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a)      Jumlah jama’ah pengajian adalah para santri yang telah menguasai dengan baik pembelajaran dengan menggunakan metode sorogan. Oleh karena itu, metode bandongan biasanya diselenggarakan untuk para santri yang bukan lagi pemula, melainkan untuk para santri tingkat lanjutan dan tinggi.
b)      Penentuan jenis dan tingkatan kitab yang dipelajari biasanya memperhatikan tingkatan kemampuan para santri.
c)      Walaupun yang lebih aktif dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para santri dilibatkan keaktifannya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan Tanya jawab, santri diminta untuk membaca teks tertentu dan lain sebagainya.
d)     Untuk membantu pemahaman para santri, seorang kyai atau ustadz terkadang mempergunakan pula alat bantu atau media pengajaran seperti: papan tulis, over head projector, pengeras suara, peta dan alat peraga lainnya.
3.      Tahap Persiapan
Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran,biasanya terlebih dahulu seorang kyai atau ustadz mempersiapkan apa-apa yang di perlukan sesuai dengan pemilihan metode pembelajaran, yaitu:
a)      Memiliki gambaran mengenai tingkat kemampuan para santri guna menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan disampaikan.
b)      Merumuskan tujuan yang akan dicapai dari pemilihan kitab tersebut dan tujuan pada setiap kali pertemuan.
c)      Menetapkan waktu yang diperlukan untuk pembacaan dan penjelasan, waktu yang diperlukan untuk member kesempatan kepada para santri untuk bertanya, dan waktu yang diperlukan untuk evaluasi pada setiap kali pertemuan.
d)     Mempersiapkan alat atau alat peraga yang diperlukan pada pertemuan tersebut.
e)      Mempersiapkan catatan catatan khusus tentang batas-batas materi yang akan disajikannya  dan tentang penilaian kepada para santri.
f)       Mempersiapkan  bahan yang dapat digunakan untuk perluasan pembahasan atau penambahan wawsan.
g)      Melakukan persiapan fisik yang memadai.
4.      Tahap Pelaksanaan
Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah:
a)      Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri
b)      Memperhatikan  situasi dan kondisi serta sikap para santri
c)      Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks arab gundul disertai dengan terjemahannya
d)                 Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau ustadz terkadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan, ia terkadang menunjuk secara bergiliran.
3.      Evaluasi
Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran diatas, seorang kyai/ustadz biasa melakukannya melalui dua macam tes, pertama, pada setiap tatap muka atau pada tatap muka tertentu. Kedua, pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadap suatu kitab tertentu.
C.  Metode Musyawarah  / Bahtsul Masa’il
1.         Pengertian
Metode musyawarah atau dalam pengertian lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu dengan membentuk halaqah yang dipimpin  langsung oleh seorang kyai atau ustadz, atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan maupun pendapatnya.
Teknik pembelajaran
Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode musyawarah kyai/ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan berikut :
a)         Peserta musyawarah adalah para santri yang berbeda pada tingkat menengah atau tinggi
b)        Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yang mencolok. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah.
c)         Topic atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkah biasanya terlebih dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya.
d)        Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.
1.      Tahap persiapan
Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah terlebih dahulu memberikan topik-topik materi yang akan dimusyawarakan. Pilihan topik itu sendiri amat menentukan. Topik yang menarik umumnya mendapatkan respon yang baik dan memberikan dorongan kuat kepada santri untuk belajar. Penentuan topik secara lebih awal ini dimaksudkan agar para peserta dapat mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebalum pelaksanaan
2.      Tahap Pelaksanaan
Sebagai permulaan, seorang kyai atau ustadz atau salah seorang santri senior menjelaskan secara singkat permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang memiliki mahad aly (tahasus tingkat tinggi) penyaji adalah para santri yang telah disusun secara terjadwal dengan topic tertentu untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalan-persoalannya. Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan untuk menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji yang telah mendapatkan tugas.
Dalam kegiatan musyawarah ini, tanggapan, pertanyaan atau sanggahan dari para santri peserta musyawarah diarahkan langsung oleh kyai atau ustadz. Tanggapan dan jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran setelah tanggapan dari peserta. Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan musyawarah biasanya memberikan arahan-arahan atau pemecahan mengenai persoalan atau permasalahan tersebut.
Ustadz/kyai juga hendaknya mengarahkan dan membimbing jalannya musyawarah agar tidak kabur atau melenceng dari tujuan.
2.   Evaluasi
Kegiatan penilaian dilakukan oleh seorang ustadz/kyai selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kwalitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang meliputi : kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan serta bahasa yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami santri lain, serta kualitas pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan pesrta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.

D. Metode Pengajian Pasaran
1.    pengertian
Metode pengajian pesaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu. Tetapi umumnya pada bulan Ramadan selama setengah bulan, duapuluh hari atau terkadang sebulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang diaji. Pada kenyataannya metode ini lebih mirip dengan metode bandongan. Akan tetapi pada metode ini target utamanya adalah “selesai”.
Pengajian pasaran ini dahulu banyak dilakukan di pesantren-pesantren tua di jawa dan dilakukan oleh kyai-kyai senior di bidangnya. Titik beratnya pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagai mana pada metode bandongan.

2.  Teknik pembelajaran
Sebelum memasuki bulan Ramadhan, beberapa pesantren biasanya mengeluarkan jadwal, jenis kitab dan kyai akan melakukan balaghpasaran di bulan itu.  Informasi ini dengan mudah beredar di pesantren-pesantren lainnya juga. Kegiatan pengajian itu sendiri biasanya dilakukan sepanjang hari. Waktu istirahat biasanya hanya waktu shalat, waktu berbuka puasa dan setelah jam dua belas malam. Kitab yang telah ditentukan dibaca dan diterjemahkan oleh seorang kyai secara cepat, sedangkan santri menyimak untuk memberikan catatan pada bagian-bagian tertentu saja atau mencatat penjelasan-penjelasan singkat yang biasanya memang diberikan.
Setelah pembacaan selesai (khatam), para santri kembali kepesantrennya semula. Pengajian berakhir biasanya beberapa hari menjelang idul fitri.
3.      Evaluasi
 Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode pengjian pasaran merupakan kegiatan kegiatan pengajian yang hamper sulit dievaluasi. Tanda keberhasilannya yang paling dapat diukur adalah apabila pengajian itu dapat diselesaikan atau kitab dapat dibacahingga selesai (khatam). Kebanggaan santri adalah jika ia selama dalam bulan Ramadhan itu berhasil merampungkan kegiatan pengajiaan pasarannya dengan beberapa buah kitab yang tebal.

3.   PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN
A.      Pengertian
Sistem dapat diartikan sebagai satu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian di mana, satu sama lain saling berhubungan dan saling keterkaitan. Dengan demikian pengertian sistem pendekatan dalam pembelajaran di pesantren adalah cara-cara pendekatan yang ditempuh dalam kegiatan pembelajaran kitab-kitab kuning di suatu  pesantren agar tujuan yang ditetapkan dapat dicapai secara optimal.


B.       Prinsip-prinsip umum dalam pembelajaran.
Bertitik tolak dari sistem pendekatan di atas, maka dalam kegiatan pembelajaran disuatu pesantren prinsip-prinsip umum belajar dan motivasi yang perlu diterapkan pada umumnya meliputi:
1.      Prinsip kebermknaan
Prinsip ini memiliki arti bahwa para santri akan mempelajari sesuatu hal apapun adalah jika sesuatu itu bermanfaat atau bermakna bagi kehidupannya baik untuk masa kini maupun untuk masa mendatang, baik bagi kepentingan hidupnya sendiri maupun kepentingan masyarakatnya. Dengan kata lain salah satu faktor yang mendorong atau memotivasi santri untuk belajar adalah adanya manfaat praktis dari sesuatu yang dipelajarinya itu dalam kehidupan. Oleh karena itu biasanya seorang kyai dalam mengajarkan suatu materi pelajaran kepada para santrinya melakukan:
a)         Menghubungkan pelajaran yang ia berikan dengan minat dan nilai-nilai santri.
b)         Menghubungkan pelajaran dengan kehidupan masa depan santri.
2.   Prinsip Prasyarat.
Pada prinsip ini seorang santri akan tergerak untuk mempelajari sesuatu hal yang baru apabila ia telah memiliki semua prasyarat yang diperlukan untuk mempelajarinya. Jika santri telah memilikinya, maka ia akan merasa bahwa pelajarannya itu akan bermakna. Ia akan mampu menerima hubungann pengetahuan yang lebih dan lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena para kyai di pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pengajar tetapi juga berfungsi sebagai orang tua bagi para santri yang senantiasa memberikan bimbingan-bimbingannya dalam suasana kekeluargaan. Sehingga dalam struktur sosialnya pesantren lebih mencerminkan sebagai kesatuan keluarga dalam jumlah besar diaman santri yang masih muda usianya (junior) memperlakukan dan menganggap sebagai kakanya terhadap santri yang lebih tua usianya. Demikian pula sebaliknya.
3.   Prinsip
Prinsip ini menutut agar pendidik mendorong para santrinya agar lebih banyak lagi mempelajari sesuatu dengan cara penyajian yang disusun sedemikian rupa sehingga pesan-pesan pendidik terbuka bagi santri. Untuk itu para pendidik biasanya melakukan langkah-langkah berikut ini:
a)    Mejelasakan kepada para santri tentang tujuan-tujuan pembelajaran yang jelas sehingga segala sesuatu yang diharapkan oleh kyai dapat dimengerti oleh para santrinya.
b)   Menunjukkan hubungan-hubungan sebab akibat, mengapa hal-hal tersebut baru dipelajari.
c)    Menghindari segala penjelasan yang dapat mengurangi minat belajar para santri.
d)   Merangsang kemampuan sensoris para santri dengan bantuan alat-alat peraga yang relevan dengan materi pelajaran.
e)    Mempberikan kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti atau belum jelas.
4.      Prinsip kebaruan
Para santri biasanya akan lebih tertarik untuk mempelajari sesuatu hal apabila hal itu adalah sesuatu yang baru yang belum diketahuinya.
5.      Prinsip Keterlibatan
Prinsip ini menjelasakan bahwa para santri dapat belajar lebih giat dan aktif bilamana mereka terlibat secara aktif dalam berbagai kegaiatan pembelajaran di pesantren. Keterlibatan para santri secara aktif ini biasanya dilakukan pada waktu kegiatan praktek ibadah
6.      Prinsip Kebersamaan
Dalam dunia pesantren dikarenakan kehidupan para santri senantiasa berada dalam kehidupan sosial yang intens,maka dalam kegiatan belajarpun mereka akan melakukannya bersama-sama. Misalnya sewaktu ditugaskan untuk menghafalkan teks-teks tertentu, mereka akan melakukannya sacara bersama-sama didalam bilik masing-masing, demikian juga ketika muthala’ah (menelaah materi yang sudah atau akan dipelajarinya)suatu kitab, mereka akan melakukannya secara berjamaah(berdiskusi).


C.       Komunikasi Interaktif kyai dan Santri  
Salah satu kelebihan sistem pendidikan pesantren dabandingkan sistem pendidikan lain adalah adanya hubungan yang akrab dan bersifat khusus hunanis antara kyai atau ustadz dengan orang tua atau keluarga santri atau dengan para santri itu sendiri. Seorang calon santri datang kepesantren umumnya diantarkan oleh kedua orang tua atau keluarganya,kemudaian dititipkan atau dipasrahkan secara langsung kepada kyai atau ustadz untuk dididik dipesantren. Hubungan semacam itu tidak hanya krtika penyerahan,melainkan dalam banyak peristiwa pendidikan dipesantre.
BAB 1V PROSES PENYAJIAN MATERI
A.Langkah pelaksanaan
Langkah pelaksanaan yang terdiri empat tahap biasanya di lakukan oleh seorang kyai dan ustadz dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Tahap-tahap tersebut islah:
1.   Tahapn awal
Seoranga kyai sebelum melakukan kegiatan kepada santri, biasanya ia melakukan persiapan khusus yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)            Menelaah (mutahala’ah) materi dari kitab kuning tertentu yang akan di ajarkan pada santri pada pertemuan mendatang.
b)            Menelaah kitab-kitab lain yang memiliki relevansi dengan persoalan yang serupa dengan materi yang akan di sajikan.
c)            Membuat catatan-catatan khusus tentang hal-hal yang di anggap penting dari penelaahaan terhadap kitab-kitab lain itu.
d)           Merancang dan mempersiapkan alat bantu (alat peraga) yang di butuhkan untuk mrngajarkan materi tersebut.



B.        Langkah pelaksanaan
Persiapan umum di maksudkan sebagai hal-hal yang di persiapkan oleh kyai/ustadz sebelum di lakukannya kegiatan pengajian untuk para santri.ada beberapa hal sebelum kegiatan pembelajaran terhadap suatu kitab tertentu di mulai, yaitu:
1.         Penyusunan kurikulum tertentu(terkadang dalam bentuh hidden kurikulum) yang yang berisi perjenjangan kitab-kitab kepada kitab-kitab untuk tingkat pemula, tingkat menengan dan tingkat tinggi.
2.         Penentuan waktu yang tepat untuk kegiatan pembelajaran terhadap suatu kitab tertentu.
3.         Pemilihan tempat untuk di langsungkannya kegiatan pembelajaran.
4.         Pemilihan metode pembelajaran di sesuaikan dengan tingkat kemampuan para santrinya.
5.         Penyediaan alat-alat bantu pengajaran/alat peraga yang berhubungan dengan maetri pembelajaran.


SISTEM PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN SALAF
A. Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang religius Islami dan merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pada awal didirikannya, pesantren tidak semata-mata ditujukan untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain.
Pondok pesantren memiliki karakteristik unik dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan karekateristik ini tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain selain pesantren. Jika ada pun, itu hanya merupakan hasil adopsi dari lembaga pendidikan pesantren.
Keunikan lain yang dimiliki pesantren adalah dalam sistem pembelajarannya yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional (salaf), walaupun keberadaan tipologi pesantren pada saat ini telah mengalami perubahan, sehingga ada yang dinamakan pondok pesantren salaf dan pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif). Akan tetapi, dengan pergeseran nama dan tipologi pesantren tersebut, pada setiap pesantren apapun tipologinya, sistem pendidikan tidak serta merta dihapuskan, paling tidak ditambah, seperti pada jenis pesantren khalaf (modern dan atau komprehensif).

B. Karakteristik Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki karakteristik atau ciri khas, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Sarijo dalam Sejarah Pesantren, (t.t. : 9) mengatakan bahwa, pesantren memiliki unsur-unsur minimal:
1) kiai yang mendidik dan mengajar;
2) santri yang belajar; dan
3) masjid.
Mujamil Qomar, (t.t.:19) menganalisa bahwa, tiga unsur pesantren ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Lebih lanjut Mujammil mengatakan, unsur pesantren dalam bentuk segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar mengajar keislaman yang sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya sebab tuntutan perubahan sistem pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Berkenaan dengan hal tersebut, Zamakhsyari Dhofier, (1982:44-45) mengatakan, ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi: masjid, pondok, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiai.

1. Masjid
Di dunia pesantren masjid dijadikan ajang atau sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam pengertian modern maupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh masjidlah yang menjadi pesantren pertama, tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar adalah masjid. Dapat juga dikatakan masjid identik dengan pesantren. Seorang kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya (Zamakhsyari Dhofier, 1985:49)
Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan). Posisi masjid di kalangan pesantren memiliki makna sendiri (Mujamil Qomar, t.t.:21) Menurut Abdurrahman Wahid dalam Majalah Santri (1997:51) mengatakan bahwa, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, berada di tengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada gunungan. Singkatnya, masjid di dunia pesantren difungsikan untuk beribadah dan tempat mendidik para santri. Juga, sebagai ciri khas lembaga pendidikan pesantren.

2. Pondok
Fenomena pondok pada pesantren merupakan sebagian dari gambaran ksederhanaan yang menjadi ciri khas dari kesederhaan santri di pesantren. Seperti ungkapan Imam Bawani, (1993:95), pondok-pondok dan asrama santri tersebut adakalanya berjejer laksana deretan kios di sebuah pasar. Di sinilah kesan kekurangteraturan, kesemerawutan dan lain-lain. Tetapi fasilitas yang amat sederhana ini tidak mengurangi semangat santri dalam mempelajari kitab-kitab klasik.
Pondok bukanlah ‘asrama’ atau ‘internaat’. Jika asrama telah disiapkan bangunannya sebelum calon penghuninya datang. Sedang pondok justtru didirikan atas dasar gotong -royong yang telah belajar di pesantren. Dari uraian Zuhri tadi, dapat dikatakan, bahwa asrama dibangun dari kalangan berada dengan persiapan dan persediaan dana yang relatif memadai, sedang pondok dibangun dari kalangan rakyat biasa yang dibangun didasarkan pada desakan kebutuhan.
Tatanan bangunan pondok pesantren menggambarkan bagaimana kiai atau wasilun (orang yang sudah mencapai pengetahuan tentang ketuhanan) berada di depan santri-santri yang masih salik (menapak jalan) mencari ilmu yang sempurna (Abdurrahman Wahid, t.t.:51), kalau dalam istilah Ki Hajar Dewantoro, bahwa komposisi bangunan pondok pesantren melambangsan posisi kiai sebagai ing ngarso sung tulodo atau dalam bahasa al-Quran dikenal dengan istilah uswatun hasanah.


3. Pengajaran kitab-kitab klasik
Kitab-kitab klasik biasanya dikenal dengan istilah kitab kuning yang terpengaruh oleh warna kertas. Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dulu yang berisikan tentang ilmu keislaman seperti: Fiqh, hadits, tafsir maupun tentang akhlak. Ada dua esensinya seorang santri belajar kitab-kitab tersebut, di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa Arab. Hal ini menjadi ciri seorang santri yang telah menyelesaikan studinya di pondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus juga mampu menerapkan bahasa kita tersebut menjadi bahasanya (M. Bahri Ghazali, 2001:24)
Penggalian khazanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah satu satu unsur yang terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan yang lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi imu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren (Faisal Ismail, 1997:116-117)


4. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren (M. Bahri Gahzali, 2001:22-23)
Menurut Zamakhsyari Dhofier, (1985:51-52) di dalam proses belajar mengajar di pesantren santri terbagi atas dua tipe, yaitu:

1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu santri yang menetap, tinggal bersama kiai dan secara aktif menuntut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga sebagai pengurus pesantren yang ikut bertanggung jawab atas keberadaan santri lain. Menurut Nurcholis Madjid, (1997:52) santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
Menurut Zamakhsyari, (1985:51) ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu:
­ Motif menuntut ilmu; artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya.
­ Motif menjunjung tinggi akhlak; artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
2) Santri kalong
Santri kalong pada dasarnya adalah seorang murid yang berasal dari desa sekitar pondok pesantren yang pola belajarnya tidak dengan jalan menetap di dalam pesantren, melainkan semata-mata belajar dan secara langsung pulang ke rumah setelah belajar di pesantren (Zamakhsyari, 1985:52) Sejalan dengan Zamakhsyari, Nurcholis Madjid, 1997:52) mengatakan bahwa santri kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulah ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Sebuah pesantren yang besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim dalam pesantren di samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya (M. Bahri Ghazali, 2001:23).


5. Kiai
Kiai di samping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manjerial pesantren. Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan dari kecenderungan kiai. Kiai memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya (Mujamil Qomar, t.t.:20) Ali Maschan Moesa, (1999:60) mencatat: di Jawa disebut Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Teungku, di Sumatera/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.
Chozin Nasuha dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefudin Zuhri, (1999:264) Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari berbagai perspektif lainnya. Muhammad Tholchah Hasan, (1997:20) melihat kiai dari empat sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasi. Jadi ada beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri (Mujamil Qomar, t.t:20)

C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Salaf
1. Sorogan
Sistem dan pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada salahnya, kesalahan itu langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan kemudian hari menjadi orang alim (Djaelani, 1980:54).
Metode sorogan merupakan sistem metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Di samping aplikasi metode ini membutuhkan waktu lama, yang berarti kurang efektif dan efesien (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).

2. Wetonan atau Bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan menulis buku – buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkan.mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan ) tentang kata–kata atau buah pikiran yang sulit (Zamakhsyari Dhofier, 1984:28).
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna mencermati suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorentasi pada pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri–santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang bagi sanrti untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran melalui wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menengah (Menurut Mujamil Qomar, t.t.:143).
Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal (Husein Muhammad, 1999:281) Akan tetapi, bukan berarti metode sorogani dan bandongan tidak memiliki kelebihan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai kelebihannya.
Ismail SM, (2002:54) merasakan bahwa metode sorogan secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai/ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai/ustadz.
Kedua metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuesi logis dari layanan yang sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini dilakukan justru mengarah pada layanan secara individual kepada peserta didik. Metode sorogan justeru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Adapun dalam bandongan, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai.
Dalam dunia pesantren, santri yang cerdas dan memiliki kelebihan, dan mendapat perhatian istimewa dan didorong secara pribadi oleh kiai secukupnya. Semua santri mendapat perhatian yang seksama dari kiai. Tingkah laku moralnya secara teliti diperhatikan. Santri diperlakukan sebagai makhluk terhormat, sebagai titipan Tuhan yang harus disanjung. Kepada santri ditanamkan perasaan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang Islam kepada orang lain, mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar terus-menerus sepanjang hidup, dan mengamalkan ilmu merupakan kewajiban dan ibadah. Kepandaian berpidato dan berdebat dikembangkan untuk melatih daya kritis dan kreatif pada santri.
Untuk lebih mengembangkan pengetahuan para santri dan sebagai evaluasi keberhasilan santri, maka santri yang dianggap sudah senior atau memiliki pengetahuan yang memadai diangkat oleh kiai sebagai badal (pengganti) jika kiainya berhalangan.
Di beberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santari-santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiainya”. Perbuatan seperti ini di dunia pesantren merupakan konsekuensi cerminan santri yang memiliki pengetahuan tinggi, dia harus memiliki etika dan akhlak yang lebih baik dari pada santri-santri yunior, karena mereka merupakan suri tauladan setelah kiai.

D. Penutup
Sebagai rangkaian akhir dari pembahasan makalah ini, penulis akan menyampaikan sebuah keyakinan kepada pembaca, bahwa pesantren telah membuktikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang telah banyak mencetak kader bangsa yang berilmu dan berakhlak mulia. Namun, saat ini ada sebuah gejala di masyarakat luas, yaitu gejala menjauhi pendidikan yang berbasis agama, semuanya berkiblat ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faham materialistik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, pesantren mulai ditinggalkan, dan yang kejar adalah lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya cepat mendapatkan uang. Akibatnya, banyak sekarang orang pintar tapi miskin moral. Sudah saatnya masyarakat untuk kembali kepada moral dengan mempercayakan pendidikannya kepada dunia pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Bawani, Imam. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional. Surabaya: Al-Ikhlas.

Dhofier, Zamakhsyari, 1985, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,Jakarta: LP3ES.

Fathurrahman, Pupuh, 2000, Keunggulan Pendidikan Pesantren; Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abads XXI, Bandung: Tunas Nusantra.

Ghazali, Bahri, M., Dr., MA., 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu.

Hasan, Muhammad Tolhah. 1996. “Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional”, Santri, No. 03, Agustus.

Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan bdan Perkembangan. Jakarta: LISK.

Moesa, Ali Maschan. 1999. Kiai dan Politik dalam wacana Civil Society. Surabaya: LEPKISS.

Qomar, Mujamil, Prof., Dr., M.Ag., t.t., Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.


Sistem Pembelajaran di Pesantren dan Kontribusinya pada Sekolah atau Madrasah Eelit

OPINI | 03 May 2014 | 14:30 http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gifDibaca: 242   http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gifKomentar: 0   http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif1
A. Pendahuluan
Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, informal, maupun non-formal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral sese-orang, seperti kejujuran, kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain, serta ketegaran untuk menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan (Hidayat, 2008:184).
Karakter bangsa yang kuat bisa diperoleh dari sistem pendidikan yang baik dan tidak hanya mementingkan faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan. Untuk mewu-judkan hal itu, maka diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan nonakademik (termasuk keunggulan spiritual).
Sekolah formal (sekolah/madrasah) lembaga pendidikan yang berfokus pada faktor kecerdasan akademik meskipun tidak lantas mengabaikan hal-hal yang ber-sifat spiritual atau keagamaan. Hanya saja, sistem pendidikan di sekolah formal memang menekankan pencapaian prestasi anak didik dalam hal kecerdasan inte-lektual yang pada akhirnya bermuara pada berbagai ukuran akademik.
Sementara itu, pondok pesantren menjadi salah satu pilihan lembaga pendi-dikan yang mengutamakan upaya pencerdasan spiritual. Pada perkembangannya pesantren menjadi salah satu sistem pendidikan yang mendapatkan perhatian, baik dari masyarakat umum maupun dari pemerintah. Konsep asrama dan belajar se-panjang waktu yang dikembangkan di pesantren diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan sekolah/madrasah di Indonesia.
B. Sistem Pembelajaran di Pesantren
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pembelajaran, yaitu; sorogan dan bandongan. Sorogan yang sering disebut sistem individual, dan bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap siswa mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pemban-tu kiai (ustadz dan mustahik). Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada siswa-siswa yang belajar membaca Qur’an. Metode ini merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari siswa. Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren pada umumnya tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Metode utama pembelajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandong-an atau wetonan. Kegiatan pembelajaran ini, dilakukan dalam format diskusi, diawal dengan mereviu kembali materi pelajaran sebelumnya yang disampaikan oleh rois masing-masing fak ilmu, atau rosi am. Dilanjutkan dengan siswa men-dengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab (kitab kuning). Kelompok kelas dari sistem bando-ngan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Sisi lain, pesantren melakukan kegiatan pembelajaran sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan dengan kiai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjadi antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berja-lan intensif. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari (Daulay, 2001: 36). Sistem pendidikan ini, membawa banyak keuntungan antara lain; pertama pengasuh mampu melakukan pemantau-an secara leluasa setiap saat terhadap perilaku santri baik terkait dengan pengem-bangan intelektual maupun kepribadian. Kedua, adanya proses pembelajaran dengan frekuensi tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang telah diterimanya. Ketiga, adanya proses pembiasaan akhlak, interaksinya setiap saat; baik sesama santri, santri dengan ustad, maupun santri dengan kiai. Hal ini merupakan kesem-patan terbaik untuk membiasakan percakapan bahasa Arab maupun bahasa Ing-gris. Keempat, adanya integrasi antara proses pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari (Qomar, tt: 65). Bahwa sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik. Para pengasuh memandang kegiatan pembelajaran merupa-kan kesatuan paduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari (Mastuhu, 1994: 58).
Sistem pendidikan pesantren menganut konsep pendidikan yang pernah dijalankan oleh nabi. Nabi Muhammad menjadi teladan bagi umat manusia, sementara itu para kiai pewaris para Nabi (al-‘ulama warasat al-anbiya). Maka para kiai menjadi tauladan bagi umat Islam, terlebih lagi di pesantren para kiai menjadi tauladan para santri-santrinya.
Seiring berjalannya waktu pesantren sedikit banyak telah melakukan pem-benahan dan perubahan. Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren salaf dan pesantren khalaf. Sistem pendidikan pesantren salaf, tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren (misalnya: Pon. Pes. Hidayatul Mubtadien Lirboyo Kediri, Pon. Pes. Subersari Kepung Kediri dan lainnya). Pondok pesantren khalaf merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah/madrasah formal (Pon. Pes. HM. Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri, Pon. Pes. Daru Ulil Albab Nganjuk, dan lain sebagainya).
Tujuan dari perubahan pondok pesantren adalah berusaha untuk menyem-purnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren khalaf termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (misalnya Pon. Pes. Kepanjen Pati Jawa Tengah).
C. Gambaran Sekolah/Madrasah Elit di Indonesia
Istilah sekolah/madrasah digunakan secara sama dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, istilah ini dapat menunjukan lembaga pendidikan di mana siswa melakukan kegiatan belajar dan guru meng-ajar. Sedangkan elite sendiri dapat diartikan orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (KBBI: v1.1).
Secara harfiyah, “sekolah/madrasah elite” berarti sekolah/madrasah kecil, sekolah/madrasah yang jumlah siswanya sedikit atau terbatas. Pembatasan jumlah siswa dengan mempergunakan kriteria tertentu. Ada sekolah/madrasah elite yang hanya menerima siswa-siswa kaya, ada sekolah/madrasah elite yang hanya mene-rima siswa-siswa cerdas, dan ada pula sekolah/madrasah elite yang membatasi dengan tinggi badan paling tidak 170 cm, dan lain sebagainnya (Buchori, 1995: 166).
Lebih lanjut Menurut Buchori (1995: 170), sekolah/madrasah elite memiliki ciri-ciri tertentu; pertama, sekolah/madrasah ini terdapat pada tingkat menengah pertama dan atas. Jadi untuk kelompok umur 13-18 tahun. Kedua, sekolah/madra-sah ini biasanya merupakan boarding school, sekolah/madrasah dengan asrama. Selama masa pendidikan para siswa harus tinggal di asrama. Jadi seperti pondok pesanteran tradisional. Ketiga, program pendidikan bersifat menyeluruh (prehen-sive) dan berimbang (balanced). Keempat, kehidupan pendidikan di sekolah/mad-rasah elite sangat ketat. Tidak jarang para siswa harus bangun pagi jam empat dan belajar sampai malam jam sepuluh malam. Di negara-negara tertentu seperti Jepang, Amerika Serikat, Inggris, terdapat lebih dari satu jenis sekolah elite. Ada sekolah elite yang dirancang untuk melahirkan elite intelektual, ada yang diran-cang untuk melahirkan elite sosial, ada yang dirancang untuk melahirkan elite politik.
Pandangan penulis sekarang pun masih ada sekolah/madrasah elite. Hanya saja wajahnya belum jelas benar, mana yang dirancang untuk melahirkan elite sosial, mana yang dirancang untuk melahirkan elite intelektual dan elite politik. Namun dalam penglihatan penulis ada lembaga pendidikan elite dari dulu hingga sekarang masih eksis dalam melahirkan elite-elite agamawan yaitu pesantren. Pada sekolah-sekolah/madrasah-madrasah elite (pandangan penulis) umumnya enggan atau risi kalau disebut sebagai demikian. Mereka menolak sebutan itu, mereka memandang diri mereka sebagai “sekolah/madrasah biasa”.
Dari penjelasan tersebut maka penulis mengagap ada beberapa sekolah/mad-rasah elit. Misalnya sekolah Al Azhar Jakarta, SMA Taruna Magelang, Sekolah Pelita Harapan di Tangerang, KMI Podok Pesantren Gontor, SMP dan SMA Pesantren Salafiyah Terpadu Arisalah Lirboyo Kediri, SMP/MTs dan SMA/MA Pesantren Tambakberas Jombang, SMP/MTs dan SMA/MA Pesantren Tebuireng Jombang, MAN Cendikia di Sepong Tangerang dan MAN Cendikia Ambon, MTsN 2 Kediri, MAN 3 Kediri dan lainnya. Lembaga pendidikan ini akan mela-hirkan elite; elite sosial, elite intelektual, elite politik dan elite agamawan. Yang sudah pasti, di sekolah/madrasah ini program belajar para siswa cukup berat. Siswa tidak bisa belajar secara santai.
D. Kontribusi Pesantren pada Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi selalu dipandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang tang-gap terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Tetapi, belakangan ini ada aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren.
Pesantren adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan berkembang dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indigenous. Lembaga inilah yang dilirik kem-bali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia (Yasmadi, 2002: 3). Pesantren dengan demikian mulai diperhatikan dari multi perpektif sehingga tidak selalu dinilai negatif. Ada segi-segi kelemahan sistem pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi ada juga kelemahan-kele-mahan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan (Qomar, tt: 82).
Meskipun tidak ada pengakuan secara ekplisit dari para pakar pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan pesantren telah diadopsi ke dalam sistem Pendidikan Nasional. Gejala ini terlihat jelas pada kemunculan’sekolah-sekolah unggulan’atau boarding school sejak tiga dasawarsa terakhir (Rahim, 2001: 153). Sekarang ini sudah banyak bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan ‘sistem pesantren’ meskipun dibungkus dengan nama lain seperti boarding school, sekolah internal atau lainnya (Maghfurin, 2002: 158). Jika boarding school (sekolah berasrama umum) mengadopsi pendidikan pesantren secara diam-diam, maka Departemen Agama mengembangkannya secara terbuka (Rahim, 2001: 154).
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2008 sedang menggalakkan program sekolah berbasis pondok pesantren sebagai salah satu upaya untuk mencerdaskan sekaligus mencerahkan anak bangsa. Kese-imbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual anak bangsa multak dibutuhkan demi keberlangsungan masa depan bangsa ini (Suhardi, 2012: 323).
Sistem pendidikan yang dinilai tepat untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah sistem pendidikan unggulan yang merupakan perpaduan antara dua sistem pendidikan yang telah dimiliki oleh Indonesia saat ini, yaitu sistem pendidikan formal dan sistem pendidikan pondok pesantren. Sistem pendidikan formal, dalam konteks penelitian ini adalah Sekolah/madrasah, mewakili keunggulan akademik. Sistem pendidikan pondok pesantren merupakan cerminan dari keunggulan spiri-tual. Apabila proses pembelajaran pada pendidikan formal rata-rata membutuhkan waktu selama 12 jam sehari, maka tidak dengan pondok pesantren, pendidikan berbasis lokal ini proses pembelajarannya berlangsung hingga 24 jam (Kemdiknas, 2011:1).
Pondok atau asrama meskipun dalam batas tertentu ada perbedaan secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran bila diberda-yakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan sekolah-sekolah/madrasah unggulan. Kehidupan pondok atau asrama memberikan berbagai manfaat antara lain; interaksi antar siswa dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan siswa, pergesekan sesama siswa yang memiliki kepen-tingan yang sama dalam mencari ilmu, menimbulkan stimulus/rangsangan belajar, dan memberikan kesempatan yang baik bagi pembinaan sesuatu (Qomar, tt: 83). Pendidikan pondok pesantren dapat membentuk peserta didik yang berjiwa reli-gius, akhlakul hasanah, disiplin, sederhana, menghormati orang yang lebih tua, dan memahami filosofis kehidupan (Suhardi, 2012: 316).
Hanya saja, motivasi pembangunan pondok bagi pesantren dan asrama bagi sekolah/madrasah unggulan cukup berbeda. Menurut akar sejarahnya, pondok dibangun agar santri tidak jauh-jauh menempuh perjalanan untuk belajar ada kiai atau agar santri bisa menginap didekat kiai. Sedangkan asrama dibangun oleh sekolah/madrasah ungulan untuk mengefektifkan proses pembelajaran, sehingga menyangkut berbagai kompone yang terkait. Dengan pengertian lain, jika pondok dibangun lantaran darurat, maka asrama dibangun atas dasar perencanaan pembelajaran yang matang dengan memenuhi kriteria efektifitas dan efesiensi (Qomar, tt: 83).
Dengan sistem 24 jam atau sistem sepanjang hari (full-day eduactinal system) yang dijalani, pesantren akan menjadi incaran para orang tua lantaran kesibukanya tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk memberikan perhati-an dan kontrol kepada putra-putrinya setelah pulang dari sekolah/madrasah (Maghfuri, 2002: 159). Dari sudut pertimbangan ini sistem pendidikan pesantren lebih dipercaya orang tua dari pada sistem pendidikan formal terutama bagi orang tua karir yang memiliki komitmen tinggi untuk menanamkan akhlak pada putra-putrinya. Pesantren dinilai mampu membentengi para santri dari pengaruh-pengaruh negatif arus globalisasi yang menghadirkan budaya Barat (Qomar, tt: 84). Jika pendidikan formal mampu membentuk peserta didik yang bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, bekerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, ber-pikir cakap (logis, kritis, kreatif, dan inovatif), mandiri, rasa ingin tahu, cinta ilmu, sadar hak dan kewajiban, patuh pada aturan sosial, menghargai karya orang lain, sopan-santun, demokratis, cinta lingkungan, nasionalis, menghargai keberagaman, pendidikan pondok pesantren dapat membentuk peserta didik yang berjiwa reli-gius, akhlakul hasanah, disiplin, sederhana, menghormati orang yang lebih tua, dan memahami filosofis kehidupan (Didik, 2012: 327).
Pesantren masih survive dan mampu beradaptasi dengan modernitas pendi-dikan. Bahkan pendidikan yang cenderung sekuler dinilai gagal, pesantren ditujuk sebagai lembaga pendidikan alternatif (Mukti, 2002: 134). Kegagalan pendidikan sekuler dilihat dari pembentukan kepribadian. Di kota-kota besa seperti Jakarta hampir setiap siang terjadi tawuran antara siswa. Tradisi ini unik sekali mengingat pelajar adalah kelompok yang sedang menjalani pendidikan, sedangkan tawuran bertentang dengan pendidikan itu sendiri. Berbeda dengan pelajar tersebut, santri pesantren tidak penah tawuran sesama santri dari pesantren lain meskipun di Jakarta.
Pada dasarnya pendidikan pesantren dinilai sukses. Ada kencenderungan orang tua di kota-kota besar yang mengirimkan anaknya kepesantren, kendati di pesantren mereka belum tentu juga mengalami kesadaran sepenuhnya. Sementara itu, pesantren sudah terbiasa membimbing anak-anak yang ‘bermasalah’. Secara umum pesantren masih diyakini potensinya membimbing mendidik, dan memba-ngun kepribadian para santri untuk menjadi orang Muslim yang benar-benar saleh dan salehah yang memiliki ketahanan cukup kuat dalam menghadapi tantangn dunia global.
E. Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga independen dalam melakukan penataan terhadap sistem pendidikan yang dikembangkannya memiliki bentuk yang unik. Banyak keunggulan yang dimiliki dari sistem pendidikan yang ada di pesantren, yang dapat membuat beberapa lembaga pendidikan untuk mengadopsinya. Suatu hal yang menarik dalam kontek ini dengan adanya pondok atau asrama.
Pada dasawarsa terakhir banyak bermunculan sekolah/madrasah elite (seko-lah/madrasah terpilih) yang memiliki kesamaan pola dengan pesantren, maka dalam hal ini penulis menganggap pesantren memberikan kontribusi pada sekolah/madrasah elite. Elite secara harfiah atau pun elite secara subtansial. Elite secara harfiah adalah pilihan, sekarang ini masuk di sekolah/madrasah elite harus benar-benar anak yang terpilih baik secara intelektual, mental, spiritual dan jas-mani, dalam artinya tidak semua anak mampu bertahan di dalamnya. Sekolah/-madrasah elite secara subtasial, karena merujuk dari pendapat Muchtar Buchori ciri sekolah/madrasah elite, dari segi usia, asrama (pondok), terprogram, dan sistem yang ketat. Keempat komponen tersebut melekat dan terdapat pada sistem pendidikan yang ada di banyak sekolah/madrasah yang sering mengatas namakan dirinya sebagai sekolah/madrasah unggulan (kelas exselen).
Daftar Pustaka
Daulay, H. P. (2001). Historisitas dan Eksisitensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yoyakarta: PT. Tiara Wacana.
Dhofier, Z. (2009). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES.
Hidayat, Komaruddin & Putut Widjanarko. 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: PT Mizan Publika.
Maghfurin, A. (2002). “Pesantren: Model Pendidikan Alternatif Masa Depan”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka pelajar.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Mukti, A. (2002). “Paradigma Pendidikan Pesantren; Ikhtiar Metodologi Menuju Minimalis Kekerasan politik”, dalam Ismail SM., Nurul Huda dan Abdil Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisingo Semarang dengan Pustaka pelajar.
Qomar, M. (tt). Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,Jakarta: Erlangga.
Rahim, H. (2001). Arah Baru Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Suhardi, D. (2012), Peran SMP Berbasis Pesantren Sebagai Upaya Penanaman Pendidikan Karakter Kepada Generasi Bangsa. Jurnal Pendidikan Karakter, 2(3): 316-328.
Yasmadi. (2002). Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Perss.


METODE PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang. Dalam sejarah hidup umat manusia dimuka bumi ini hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam kelompok masyarakat primitif.
Hanya sistem dan metodenya yang berbeda-beda sesuai taraf hidup dan budaya masyarakat masing-masing. Di kalangan masyarakat yang berbudaya modern, sistem dan metode pendidikan yang dipergunakan setaraf dengan kebutuhan atau tuntutan aspirasinya. Sistem dan metode tersebut diorientasikan kepada efektifitas dan efisiensi.
Metode penyajian atau penyampaian di pondok pesantren bersifat tradisional menurut kebiasaan-kebiasaan yang lama dipergunakan dalam institusi itu, seperti pengajian dengan balahan, weton dan sorogan.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.  Apakah pengertian sistem pendekatan dalam pengajaran agama di pondok pesantren?
2.  Bagaimana metode penyampaian dalam pengajaran agama di pondok pesantren?
3.  Bagaimana sistem pendekatan metodologis di pondok pesantren?
4.  Apakah prinsip umum dalam proses belajar mengajar agama dalam pondok pesantren?

C.    Tujuan Pembahasan
1.  Untuk mendiskripsikan pengertian sistem pendekatan dalam pengajaran agama di pondok pesantren.
2.  Untuk mendiskripsikan metode penyampaian dalam pengajaran agama di pondok pesantren.
3.  Untuk mendiskripsikan sistem pendekatan metodologis di pondok pesantren.
4.  Untuk mendiskripsikan prinsip umum dalam proses belajar dan mengajar agama di pondok pesantren.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sistem Pendekatan dalam Pengajaran Agama di Pondok Pesantren.
Pengertian “sistem” bisa diberikan terhadap suatu perangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian dimana satu sama lain saling berhubungan dan saling memperkuat.
Dengan demikian sistem adalah suatu sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
Pengertian lainnya yang umum dipahami dikalangan awam adalah bahwa sistem (lebih tepat sistem) itu merupakan “cara” untuk mencapai tujuan tertentu dimana dalam penggunaannya bergantung kepada pelbagai faktor yang erat hubungannya dengan usaha pencapaian tujuan tersebut. Sistem dalam pengertian ini lebih berdekatan dengan pengertian “metode”, sedang “metode” mula-mula berasal dari kata “meta” berarti melalui dan “hodos” berarti jalan. Jadi methode adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai satu tujuan.
Bila kita mempergunakan istilah “sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren” maka tak lain yang dimaksud adalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang berlangsung dalam pondok pesantren itu. Sedangkan bila kita mempergunakan istilah “sistem (“susteem” dalam bahasa Belanda) pendekatan” tentang metode pengajaran agama Islam di Indonesia, maka tak lain pengertiannya adalah “cara pendekatan dan cara penyampaian ajaran agama Islam di Indonesia” dimana scopenya yang luas, tidak hanya berbatas pada pondok pesantren, akan tetapi mencakup lembaga-lembaga pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum dan non formal seperti pondok pesantren.

B.     Metode Penyampaian dalam Pengajaran Agama di Pondok Pesantren.
Dalam metode penyampaiannya ada beberapa pondok salafiyah yang masih menggunakan metode lama atau tradisional menurut kebiasaan-kebiasaan yang lama dipergunakan dalam institusi itu, metode-metode tersebut antara lain:
1.      Sorogan
Yaitu suatu sistem belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan Kiai dengan Santri sangat dekat, sebab Kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu persatu.
2.      Bandungan
Sistem bandungan ini sering disebut dengan Halaqoh dimana dalam pengajaran, kitab yang dibaca oleh Kiai hanya satu, sedang para santri membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kiai.
3.      Weton
Istilah weton berasal dari bahasa jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton bukan merupakan pengajian rutin harian, tapi dilaksanakan pada saat tertentu misalnya pada setiap selesai sholat Jum’at dan sebagainya.

Adapun metode yang dapat dipergunakan dilingkungan pondok pesantren antara lain, seperti tersebut di bawah ini dengan penyesuaian menurut situasi dan kondisi masing-masing:
  1. Metode tanya jawab                             10. Metode widya wisata
  2. Metode diskusi                                     11. Metode pemberian situasi
  3. Metode imlak                                        12. Metode problem solving
  4. Metode mutholaah/riatal                       13. Metode pembiasaan
  5. Metode proyek                                      14. Metode dramatisasi
  6. Metode dialog                                       15. Metode reinforcement
  7. Metode karya wisata                             16. Metode berdasarkan teori -
  8. Metode hafalan/verbalisme                         Connectionisme
  9. Metode sosiodrama                               17. Metode dengan sistem modul

Macam-macam metode itu menjadi efektif dan tidaknya bagi santri (anak didik) adalah banyak bergantung kepada pribadi pendidik (guru/pengajar/ pengasuh) itu sendiri.

C.    Sistem Pendekatan Metodologis di Pondok Pesantren
Sistem pendekatan metodologis yang perlu mendapatkan perhatian dari para pendidik juga di pondok pesantren adalah bilamana didasarkan atas disiplin ilmu sosial sekurang-kurangnya meliputi:
1.      Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini tekanannya diutamakan pada dorongan yang bersifat persuasif dan motivatif, yaitu suatu dorongan yang mampu menggerakkan daya kognitif, konatif dan afektif.
2.      Pendekatan Sosio-kultur
Pendekatan ini lebih ditekankan pada usaha pengembangan sikap pribadi dan sosial sesuai dengan tuntutan masyarakat yang berorientasi kepada kebutuhan hidup yang makin maju dalam berbudaya dan berperadapan.
3.      Pendekatan Religik
Yakni suatu pendekatan yang membawa keyakinan (aqidah) dan keimanan dalam pribadi anak didik yang cenderung kearah komprehensif intensif dan ekstensif (mendalam dan meluas).
4.      Pendekatan Historis
Ditekankan pada usaha pengembangan pengetahuan, sikap dan nilai keagamaan melalui proses kesejarahan.
5.      Pendekatan Komparatif
Pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan suatu gejala sosial keagamaan dengan hukum agama yang ditetapkan selaras dengan situasi dan zamannya.
6.      Pendekatan Filosofis
Yaitu pendekatan yang berdasarkan tinjauan falsafah. Pendekatan demikian cenderung kepada usaha mencapai kebenaran dengan mamakai akan atau rasio.

D.    Prinsip-prinsip Umum dalam Proses Belajar dan Mengajar Agama di Pondok Pesantren
Prinsip-prinsip umum belajar dan motifasi yang perlu ditetapkan dalam pondok pesantren yaitu:
1.      Prinsip Kebermaknaan
Prinsip ini menghendaki bahwa anak didik akan terdorong untuk mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
2.      Prinsip Prasyarat
Prinsip ini menuntut pendidik untuk menyadari bahwa anak didik akan tergerak untuk mempelajari hal-hal baru bila ia memiliki semua prasyarat yaitu mengaitkan pengetahuan yang dimiliki anak didik dengan yang dimiliki oleh pendidik.
3.      Prinsip-prinsip Model
Prinsip ini menghendaki agar pendidik memberikan dalam proses belajar model/contoh yang dapat diamati atau ditiru oleh anak didik. Dengan demikian, ia akan berusaha memiliki tingkah laku yang baru sebagai yang diterapkan oleh pendidik dalam model/contoh tersebut.
4.      Prinsip Komunikasi Terbuka
Prinsip tersebut menuntut agar pendidik mendorong anak didik lebih banyak mempelajari sesuatu dengan cara penyajian yang disusun sedemikian rupa sehingga pesan-pesan pendidik terbuka bagi anak didik.
5.      Prinsip Kebaruan
Anak didik akan lebih banyak belajar bilamana minat/perhatiannya tertarik oleh penyajian-penyajian yang relatif baru.
6.      Prinsip Praktek Aktif
Prinsip praktek akrif yaitu anak akan dapat belajar lebih baik bilamana ia diikutsertakan dalam praktek.
7.      Prinsip Praktek Terbuka
Anak didik akan belajar lebih baik dan giat bilamana pelajaran praktek tersebut disusun dalam periode yang singkat yang didistribusikan dalam jangka waktu tertentu.
8.      Prinsip Mengurangi Petunjuk
Seorang anak didik akan lebih baik dalam belajarnya bilamana instruksi (perintah) atau petunjuk semakin dikurangi dan dihapuskan.


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode dan sistem pendidikan pada pondok pesantren itu tidak hanya berkutik pada metode-metode tradisional saja, akan tetapi pendidikan di pondok pesantren juga telah menggunakan berbagai metode-metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan tersebut, dengan demikian pendidikan pondok pesantren tidak lagi dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang kuno, bahkan pendidikan yang telah berkembang pada saat ini banyak yang menggunakan sistem yang digunakan dalam pondok pesantren.

0 komentar:

Posting Komentar